Perbedaan Pendapat Ulama Tentang Muhkam dan Mutasyabih



Perbedaan Pendapat Ulama  Tentang Muhkam dan  Mutasyabih

Sebagaimana terjadi perbedaan pendapat tentang defenisi muhkam dan mutasyabih dalam maknanya secara terminology, perbedaan pendapat juga terjadi dalam masalah ayat yang mutasyabih. Sumber perbedaan pendapat itu berpangkal pada masalah waqaf (berhenti) dalam  ayat berikut :

وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلا أُولُو الأَلْبَابِ  (العمران :7)

Apakah kedudukan lafazh وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ ini berkedudukan sebagai mubtada’ yang  khabarnya adalah يَقُولُونَ dengan wawu ditentukan sebagai sebagai huruf isti’naf (permulaan) dan waqaf dilakukan pada lafazh.

   إِلا اللَّهُ   وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ    ataukah ia ma’thuf, Sedang lafazh  يَقُولُونَ menjadi hal dan waqafnya pada lafazh  وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ Dalam hal ini ada dua pendapat.

Pendapat pertamamengatakan “isti’naf”. Pendapat ini didukung oleh sejumlah tokoh seperti Ubay bin Ka’ab, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, sejumlah sahabat tabi’in dan lainnya. Mereka beralasan antara lain dengan keterangan yang diberikan oleh Al-Hakim dalam mustadrakNya, bersumber dari Ibnu Abbas, bahwa ia membaca; “wa ma ya’lamu ta’wilahu illa Allah, wa ar-rasikhuna fil ‘ilmi yaquluna amanna bihi.”

Juga dengan qira’at Ibnu Mas’ud, “Wa inna ta’wilahu ‘indallahi wa ar-rasikhuna fi al-‘ilmi yaquluna amanna bihi,”dan dengan ayat itu sendiri yang menyatakan celaan terhadap orang-orang yang mengikuti hal-hal yang mutasyabih dan menyifatinya sebagai oarng-orang yang hatinya condong kepada kesesatan dan berusaha menimbulkan fitnah.

Dari Aisyah, ia berkata: Rasulullah membaca ayat ini “huwalladzi anzala “alaika al –kitab” sampai dengan “ulul albab.”Kemudian beliau bersabda: “Apabila kamu melihat orang yang suka mengikuti ayat-ayat mutasayabihat, maka mereka itulah yang disinyalir Allah. Maka waspadalah terhadap mereka.”

Pendapat kedua, mengatakan bahwa “wawu” sebagai huruf “athaf. Ini dipilih oleh segolongan ulama lain yang dipelopori oleh Mujahid. Diriwayatkan dari Mujahid, katanya, “Saya telah membacakan mushaf kepada Ibnu Abbas mulai dari Al-Fatihah sampai tamat. Saya pelajari sampai paham setiap ayatnya dan saya tanyakan kepadanya tentang tafsirannya.”

Pendapat ini juga didukung  oleh Imam An-Nawawi. Dalam Syarahnya ia menegaskan, “Pendapat inilah yang paling shahih karena tidak mungkin Allah menyeru hamba-hambaNya dengan uraian yang tidak ada jalan untuk mengetahuinya.” Ulama lain yang mendukung pendapat ini adalah Abu Hasan Al-Asy’ary dan Abu Ishaq Asy-Syirazy (476 H). Asy_syirazy berkata, “Tidak ada satu ayatpun yang maksudnya hanya diketahui Allah.” Para ulama sesungguhnya juga mengetahuinya. Jika tidak, apa bedanya mereka dengan orang awam ?”

Dengan merujuk kepada makna takwil (at-ta’wil), maka akan jelaslah bahwa antara kedua pendapat di atas tidak terdapat pertentangan, karena lafazh “takwil” digunakan untuk menunjukkan tiga makna:
Memalingkan sebuah lafazh dari makna yang kuat (rajih) kepada makna yang lemah (marjuh) karena ada suatu dalil yang menghendakinya. Inilah pengertian takwil yang dimaksudkan oleh mayoritas ulama muta’akhirin.

Takwil dengan makna tafsir (menerangkan, menjelaskan), yaitu pembicaraan untuk menafsirkan lafazh-lafazh agar maknanya dapat dipahami.

Takwil adalah pembicaraan tentang substansi (hakikat) suatu lafazh. Maka, takwil tentang zat dan sifat-sifat Allah ialah tentang hakikat zatNya itu sendiri  dan hakikat sifat-sifatNya. Dan takwil tentang hari kemudian yang diberitakan Allah adalah substansi yang ada pada hari kemudian itu sendiri.

Golongan yang berpendapat bahwa waqaf dilakukan pada lafazh “Wama ya’lamu ta’wilahu illallah” dan menjadikan “War-rasikhuna fil “ilmi” sebagai isti’naf (kalimat permulaan) mengatakan, bahwa takwil dalam ayat ini ialah takwil dengan pengertian yang ketiga, yakni hakikat yang dimaksud dari sesuatu perkataan. Karena itu hakikat zat Allah, esensiNya, makna nama dan sifatNya serta hakikat hari kemudian tidak ada yang mengetahui selain Allah.

Sebaliknya, golongan yang mengatakan waqaf pada lafazh ”War-rasikhuna fil ‘ilmi” dengan menjadikan “wawu”sebagai huruf athaf, bukan isti’naf. Memaknai kata takwil tersebut dengan makna yang kedua yakni tafsir. Sebagaimana dikemukakan Mujahid (seorang ahli tafsir terkemuka). Mengenai Mujahid ini Ats-Tsauri berkata, “Jika dikatakan ia mengetahui, ia mengetahui yang mutasyabih, maksudnya ialah bahwa ia mengetahui tafsirannya.

Dengan demikian jelaslah bahwa pada hakikatnya tidak ada pertentangan antara kedua pendapat tersebut. Dan masalahnya hanya berkisar pada arti takwil.

Baca Juga
Pengertian Muhkam dan Mutasyabih
Pendapat Ulama Para ulama terhadap ayat muhkam dan mutasyabih
Pembagian ayat-ayat Mutasyabihat dalam Al-Qur’an
Hikmah dan Nilai-nilai Pendidikan dalam ayat-ayat Muhkam dan Mutasyabih

Popular posts from this blog

Macam-Macam Amtsal dan Contohnya

Langkah-Langkah Penggunaan Media Gambar dalam Pembelajaran

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TANAMAN SAWI