KONSEP PENGHAYATAN EKSOTERIK DAN ESOTERIK DALAM ILMU FIQH
Islam yang telah Allah ta’ala
ridhokan untuk menjadi agama kita, dan disampaikan melalui utusan-Nya Nabi
Muhammad Shallallahu alaihi wasallam merupakan satu syariat yang mencakup
persoalan hidup lahir dan batin. Syariat lahir disebut syariat. Syariat batin
disebut tasawuf yang meliputi tharikat, hakikat dan makrifat. Hal itu sangat
sesuai dengan struktur kejadian manusia itu sendiri yang merupakan kombinasi
antara jasad lahir dan jasad batin.
Jasad lahir adalah semua anggota
tubuh kita yang nampak dengan mata. Sedangkan jasad batin adalah jasad gaib
(tidak tampak dengan mata) yang menggerakkan seluruh anggota lahir.
Jasad batin dapat merasa,
mengingat, memikirkan, mengetahui, memahami segala sesuatu yang terjadi di
dalam diri kita masing-masing.
Allah Subhanahu wa Ta’ala
menetapkan bahwa syariat lahir untuk diamalkan oleh jasad lahir sedangkan
syariat batin untuk diamalkan oleh jasad batin yaitu ruh.
Sesuai dengan keadaan lahir
batin kita yang saling berkaitan erat tanpa terpisah-pisah maka begitu pula
amalan lahir dan batin wajib dilaksanakan secara serentak di setiap waktu dan
keadaan. Kalau kita membeda-bedakan atau menolak salah satu dari amalan itu,
maka kita tidak mungkin menjadi hamba Allah yang sebenarnya.
Kalau amalan lahir atau syariat
diibaratkan sebagai kulit buah maka amalan batin atau tasawuf (tharikat,
hakikat, makrifat) sebagai isi buah. Kedua-duanya sama-sama penting dan saling
memerlukan, ibarat kulit dan isi pada buah-buahan. Keduanya mesti ada untuk
kesempurnaan wujud buah itu sendiri. Tanpa kulit, isi tidak selamat malah isi
tidak mungkin ada kalau kulit tidak ada. Sebaliknya tanpa isi, kulit jadi tidak
berarti apa-apa. Sebab buah yang dimakan adalah isinya bukan kulitnya.
Begitu juga hubungan syariat dan
tasawuf. Keduanya mesti diterima dan diamalkan serentak. Keduanya saling
mengisi dan memerlukan. Kalau kita bersyariat saja (artinya berkulit saja tanpa
isi), itu tidak membawa arti apa-apa di sisi Allah.
Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam bersabda, “Allah tidak memandang rupa dan harta kamu tetapi
Dia memandang hati dan amalan kamu.” (HR Muslim 4651)
Sebaliknya kalau kita bertasawuf
saja (isi tanpa kulit), maka tidak ada jaminan keselamatan dari Allah Subhanahu
wa ta’ala. Amalan tasawuf itu akan mudah rusak, dan kita sama sekali tidak akan
memperoleh apa-apa.
Imam Malik ~ rahimahullah
berkata yang artinya “Barangsiapa berfiqih (syariat) dan tidak
bertasawuf maka ia jadi fasik. Barangsiapayang bertasawuf tanpa fiqih
(syariat) maka ia adalah kafir zindik.”
Imam Syafi’i ~rahimahullah telah
menasehatkan yang artinya, “Berusahalah engkau menjadi seorang yang
mempelajari ilmu fiqih (menjalanan syariat) dan juga menjalani tasawuf, dan
janganlah kau hanya mengambil salah satunya. Sesungguhnya demi Allah saya
benar-benar ingin memberikan nasehat padamu. Orang yang hanya mempelajari ilmu
fiqih (menjalankan syariat) tapi tidak mau menjalani tasawuf, maka hatinya
tidak dapat merasakan kenikmatan takwa. Sedangkan orang yang hanya menjalani
tasawuf tapi tidak mau mempelajari ilmu fiqih (menjalankan syariat), maka
bagaimana bisa dia menjadi baik (ihsan)“. [Diwan Al-Imam Asy-Syafi'i, hal.
47]
Imam Abu Yazid al Busthami
berkata yang artinya, “Kalau kamu melihat seseorang yang diberi keramat
sampai ia terbang di udara, jangan kamu tertarik kepadanya, kecuali kalau ia
melaksanakan suruhan agama dan menghentikan larangan agama dan membayarkan
sekalian kewajiban syari’at (menjalankan syariat)”
Artinya kita mesti mengamalkan keduanya
sekaligus, yaitu syariat dan tasawuf. Kalau kita pilih salah satu, kita tidak
akan selamat. Kalau kita bersyariat saja tanpa dilindungi oleh tasawuf, kita
akan menjadi fasik. Dan kalau kita bertasawuf saja tanpa dikawal oleh syariat,
maka amalan batin (amalan tasawuf) akan mudah rusak sehingga kita jatuh kafir
zindik (kafir tanpa sadar).
Begitulah pentingnya syariat dan
tasawuf. Tetapi bila kedua-duanya ada, maka amalan batin (amalan tasawuf) lah
yang lebih utama. Seperti dalam sabda Rasulullah yang artinya “Allah
tidak memandang rupa dan harta kamu tetapi Dia memandang hati dan amalan kamu”.
(HR Muslim 4651)
Hadis itu tidak bermaksud bahwa
syariat tidak penting. Bahkan syariat juga adalah hukum-hukum fardhu yang wajib
diamalkan oleh seluruh umat Islam. Hanya saja dalam keadaan keduanya (syariat
dan tasawuf) itu sama-sama diamalkan, Allah memberi keutamaan pada amalan batin
(amalan tasawuf). Perbandingannya seperti antara kulit dan isi buah.
Kedua-duanya sama penting, tetapi manusia memberi keutamaan pada isi sebab bisa
dimakan.
Begitulah peranan tasawuf.
Peranannya menentukan berakhlak atau tidaknya seorang manusia kepada Allah dan
kepada sesama manusia.
Orang yang kuat amalan batinnya
atau tinggi pencapaian tasawufnya adalah orang yang hatinya selalu dekat dengan
Allah. Ia senantiasa merasakan kebesaran Allah, dibandingkan dirinya yang maha
lemah dan senantiasa memerlukan pertolongan Allah. Ia sangat beradab dengan
Allah dan dapat mengorbankan dunia untuk Tuhannya. Ia juga mampu mengasihi semua
manusia, bersedia susah untuk manusia dan akan menyelamatkan manusia dari
tipuan dunia, nafsu dan syaitan.
Sebaliknya orang yang lemah
dalam amalan batin adalah orang yang hatinya jauh dan terpisah dari Allah. Ia
tidak takut dengan Allah, tidak malu, tidak harap, dan tidak cinta kepada
Allah. Ia tidak ridho dan tidak sabar, kurang beradab dengan Allah, penuh hasad
dengki, sombong, bakhil, dendam dan pemarah. Ia akan menjadi seorang pencinta
dunia yang bekerja keras hanya untuk dunianya. Orang seperti itu selalu
dibelenggu oleh kecintaan kepada dunia hingga takut berjuang dan berjihad untuk
agama Allah serta untuk kehidupan akhirat yang kekal abadi.
Orang yang tidak bertasawuf atau
orang yang tidak memperhatikan amalan batin sekalipun melakukan ibadah shalat,
puasa, dan banyak membaca Al Quran serta gigih berjuang adalah orang yang
kurang berakhlak dengan Allah dan kurang berakhlak dengan manusia.
Orang yang tidak memperhatikan
amalan batinnya dikabarkan oleh Rasulullah dalam sabdanya yang artinya “akan
muncul suatu firqah/sekte/kaum dari umatku yang pandai membaca Al Qur`an.
Dimana, bacaan kalian tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan bacaan mereka.
Demikian pula shalat kalian daripada shalat mereka. Juga puasa mereka
dibandingkan dengan puasa kalian. Mereka membaca Al Qur`an dan mereka menyangka
bahwa Al Qur`an itu adalah (hujjah) bagi mereka, namun ternyata Al Qur`an itu
adalah (bencana) atas mereka. Shalat mereka tidak sampai melewati batas
tenggorokan. Mereka keluar dari Islam sebagaimana anak panah meluncur dari
busurnya” (HR Muslim 1773)
“Shalat mereka tidak sampai
melewati batas tenggorokan” maknanya sholat mereka sebatas dzahirnya
saja atau amalan lahirnya saja, tidak sampai kepada bathin (qalbu) mereka atau
tidak bermanfaat atau mempengaruhi kepada hati atau bathin mereka yang mengatur
jasad lahir sehingga sholat mereka tidak mencegah perbuatan keji dan mungkar,
sholat mereka tidak menjadikan mereka muslim yang berakhlakul karimah, muslim
yang sholeh, muslim yang ihsan atau muslim yang bermakrifat, muslim yang
menyaksikan Allah ta’ala dengan hati mereka (ain bashiroh)
Tidak memperhatikan atau
kurangnya amalan batin dapat menyebabkan orang-orang yang tidak bertasawuf itu
biasanya mati dalam dosa yang tidak sadar. Mungkin dosa karena buruk sangka
dengan Allah, putus asa dengan ketentuan Allah, tidak ridho dengan takdir Allah
atau dosa karena merasa bahwa amalannyalah yang akan menyelamatkan dirinya dari
neraka.
Rasa riya’, ujub atau merasa
diri bersih itu pun adalah dosa batin. Dosa batin, tak seorang pun yang dapat
melihatnya, bahkan diri sendiri pun tidak dapat merasakannya. Hanya orang yang mempunyai
bashiroh (pandangan hati yang tembus) saja yang dapat mengetahuinya.
Nanti, bila Allah ta’ala bukakan
segala kesalahan (dosa-dosa batin itu) di akhirat, barulah manusia akan
terkejut dan tersentak.
Ulama tasawuf berkata: “Biarlah
sedikit amalan beserta rasa takut pada Allah, karena itu lebih baik daripada
banyak amalan tetapi tidak ada rasa takut dengan Allah. Lebih baik orang yang
merasa berdosa dan bersalah dengan Allah daripada orang yang banyak amalan
tetapi tidak rasa berdosa pada Allah bahkan dia merasa telah cukup dengan
amalan itu.”
Firman Allah ta’ala yang
artinya, “hari kiamat ialah hari dimana harta dan anak-anak tidak dapat
memberi manfaat, kecuali mereka yang menghadap Allah membawa hati yang selamat
sejahtera”. (QS Asy Syuara [26] : 88-89)
Hati yang selamat sejahtera
ialah hati orang bertaqwa yang berisi iman, yakin, ikhlas, redha, sabar,
syukur, tawakal, takut, harap dan lain-lain rasa hati dengan Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Hati yang senantiasa merasa sehat dalam kesakitan, kaya dalam
kemiskinan, ramai dalam kesendirian, lapang dalam kesempitan dan terhibur dalam
kesusahan. Ia bersikap ridho dengan apa saja pemberian Tuhan-Nya.
Untuk memperoleh hati yang
seperti itu, kita mesti bersungguh-sungguh melawan hawa nafsu untuk melakukan
amalan lahir dan batin (syariat dan tasawuf). Kedua-duanya akan saling mengawal
untuk mengangkat kita ke taraf taqwa.
Syariat dan tasawuf akan
mendidik dan memimpin kita menjadi seorang insan kamil yang mampu memenuhi
keinginan dan keperluan fitrah murni manusia secara suci lagi mulia. Orang
seperti itulah yang Allah maksudkan sebagai golongan As Siddiqin atau golongan
Al ‘Arifin. Sifat mereka Allah uraikan dalam Surah Al Furqaan [25] ayat 63-76:
“Dan hamba-hamba Tuhan yang
Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah
hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata
(yang mengandung) keselamatan” [25:63]
“Dan orang yang melalui
malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka” [25:64]
“Dan orang-orang yang
berkata: “Ya Tuhan kami, jauhkan azab jahannam dari kami, sesungguhnya azabnya
itu adalah kebinasaan yang kekal” [25:65]
“Sesungguhnya jahannam itu
seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman” [25:66]
“Dan orang-orang yang
apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir,
dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian”
[25:67]
“Dan orang-orang yang tidak
menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan
Allah (diharamkan untuk membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan
tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia
mendapat (pembalasan) dosa(nya)” [25:68]
“(yakni) akan dilipat
gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu,
dalam keadaan terhina” [25:69]
“kecuali orang-orang yang
bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh; maka itu kejahatan mereka
diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah maha Pengampun lagi Maha
Penyayang” [25:70]
“Dan orang-orang yang
bertaubat dan mengerjakan amal saleh, maka sesungguhnya dia bertaubat kepada
Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya.” [25:71]
“Dan orang-orang yang tidak
memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang)
yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja)
dengan menjaga kehormatan dirinya.” [25:72]
“Dan orang-orang yang
apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Tuhan mereka, mereka tidaklah
menghadapinya sebagai orang-orang yang tuli dan buta” [25:73]
“Dan orang orang yang
berkata: “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan
keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi
orang-orang yang bertakwa.” [25:74]
“Mereka itulah orang yang
dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam syurga) karena kesabaran mereka dan
mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya”
[25:75]
“mereka kekal di dalamnya.
Syurga itu sebaik-baik tempat menetap dan tempat kediaman” [25:76]
Merekalah orang-orang bertaqwa
yang akan memperoleh ketenangan hidup di dunia dan di akhirat.
Mereka adalah tempat untuk kita
mempelajari dan mencontoh kehidupan yang aman dan bahagia.
Mereka adalah yang telah
berjalan (berthariqat) melalui terminal-terminal (maqom) hakikat hingga
mencapai makrifat, menyaksikan Allah ta’ala dengan hati mereka (ain bashiroh)
Imam Sayyidina Ali r.a. pernah
ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani, “Apakah Anda pernah
melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati , ain bashiroh (bermakrifat)”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati , ain bashiroh (bermakrifat)”
Sebuah riwayat dari Ja’far bin
Muhammad beliau ditanya: “Apakah engkau melihat Tuhanmu ketika engkau
menyembah-Nya?” Beliau menjawab: “Saya telah melihat Tuhan, baru saya sembah”.
Bagaimana anda melihat-Nya? dia menjawab: “Tidak dilihat dengan mata yang
memandang, tapi dilihat dengan hati yang penuh Iman (bermakrifat)”
Rasulullah bersabda “Iman
paling afdol ialah apabila kamu mengetahui bahwa Allah selalu menyertaimu
dimanapun kamu berada“. (HR. Ath Thobari)
Jika belum dapat melihat Allah
ta’ala dengan hati (belum ma’rifat), Rasulullah bersabda “jika kamu tidak
melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.’ (HR Muslim 11)
Muslim yang meyakini
diawasi/dilihat oleh Allah -Maha Agung sifatNya atau mereka yang dapat melihat
Rabb dengan hati (ain bahiroh) atau atau muslim yang Ihsan atau muslim yang
bermakrifat maka ia mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya,
mencegah dirinya dari perbuatan maksiat, mencegah dirinya dari melakukan
perbuatan keji dan mungkar. Sehingga terwujud dalam berakhlakul karimah. Inilah
tujuan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam diutus oleh Allah Subhanahu wa
ta’ala
Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam bersabda “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan
Akhlak.” (HR Ahmad).
Dari tulisan di atas dapat kita
ketahui betapa pentingnya memperhatikan amalan batin yang tercakup dalam
tasawuf.
Imam Nawawi ~rahimahullah
berkata : “ Pokok-pokok metode ajaran tasawwuf ada lima : Taqwa kepada
Allah di dalam sepi maupun ramai, mengikuti sunnah di dalam ucapan dan perbuatan,
berpaling dari makhluk di dalam penghadapan maupun saat mundur, ridha kepada
Allah dari pemberian-Nya baik sedikit ataupun banyak dan selalu kembali pada
Allah saat suka maupun duka “. (Risalah Al-Maqoshid fit Tauhid wal Ibadah
wa Ushulut Tasawwuf halaman : 20, Imam Nawawi)
Mereka yang terhasut atau korban
ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Zionis Yahudi ada
mempertanyakan seperti “Seandainya benar sedemikian penting tasawuf,
niscaya Imam Mazhab yang empat akan banyak sekali menulis tentang tasawuf”.
Pada hakikatnya tasawuf tidak
untuk dituliskan namun dicontohkan, disampaikan dan dibimbing langsung oleh
guru kepada muridnya karena tasawuf adalah tentang akhlak atau tentang Ihsan.
Contoh ulama tasawuf yang tidak menuliskannya
kedalam bentuk tulisan/kitab adalah Syaikh Abul Hasan Ali Asy-Syadzili,
bermazhab Hanafi, yang mempunyai nasab keturunan dari Hasan putra dari Ali bin
Abi Tholib k.w. Sedangkan ulama Tasawuf yang menuliskan
pengajaran-pengajaran Syaikh Abul Hasan Ali Asy-Syadzili adalah Syaikh Ibnu
Athoillah yang bermazhab Maliki. Para ulama tasawuf dalam menjalankan amalan
lahir atau syariat, mereka bermazhab. Imam Mazhab yang empat memang
menuliskan kitab fiqih agar umat Islam dikemudian hari yang tidak dapat melihat
(mencontoh) langsung cara beribadah Salaf yang Sholeh dapat melihatnya melalui
kitab fiqih mereka. Imam Mazhab yang empat melihat langsung penerapan,
perbuatan serta contoh nyata, jalan atau cara (manhaj) beribadah dari
Salaf yang sholeh dan membukukannya dalam kitab fiqih mereka.