Wahyu dalam Bahasa dan Al-Qur'an
Wahyu Dalam Bahasa
Para peneliti kosa kata berkeyakinan
bahwa wahyu adalah suatu kaidah untuk penyampaian ilmu, makrifat, dan lainnya.
Kekhususan dan spesifikasi dari wahyu di antaranya adalah: isyarat cepat
terhadap penulisan dan risalah, pemberitahuan terhadap misteri dan simbol,
terkadang dalam bentuk tak berkomposisi, isyarat terhadap sebagian
anggota-anggota badan, dan terkadang dalam artian ilham dan ungkapan rahasia
serta tersembunyi. Oleh karena itu, rahasia, cepat, dan misteri merupakan
pilar-pilar asli dari wahyu.
Wahyu Dalam Al-Qur'an
Wahyu kebanyakan dari jenis ilmu dan
kognisi, bukan dari jenis amal dan perbuatan; dan ilmu merupakan dimensi khusus
dari wujud yang tidak terlaburi mahiyah; kendatipun mahiyah senantiasa
menyertainya. Oleh sebab itu, wahyu adalah sebuah komprehensi yang digali dari
eksistensi. Dari sisi ini maka wahyu tidak mempunyai kuiditas dan tidak mungkin
didefinisikan dengan jalan genus, difrensia, definisi, dan deskripsi. Jadi
wahyu bersih dari semua itu yang berada di bawah kategori-kategori popular
kuiditas, dan komprehensi wahyu –seperti pengertian eksistensi– mempunyai wujud
luar (ekstensi), dimana misdaknya sendiri mempunyai tingkatan yang berbeda dan
beragam.
Penjelasan tentang matlab ini:
Setiap " wujud mungkin" terangkap
dari wujud dan mahiyah.
Sesudah diurai akal dan dipisahkan
mahiyah dari wujud, meskipun masing-masing dari mahiyah dan wujud ini adalah
"mungkin" (possible), tetapi tidak satupun secara sendirian terangkap
dari wujud dan mahiyah; yakni sesudah diurai oleh akal, meskipun masing-masing
harus disertai lainnya, akan tetapi dalam atmosfir analisa, tidak satupun dari
keduanya adalah berkomposisi.
Wahyu ilmi adalah dari jenis ilmu, dan
ilmu adalah dari tipe wujud; apakah ia itu ilmu husuli ataukah ia ilmu huduri.
Wahyu adalah dari tipe ilmu huduri,
bukan dari jenis ilmu husuli; akan tetapi dari bagian spesifik ilmu huduri,
bukan mutlak ilmu tersebut.
Mungkin saja kadang suatu matlab
terlontar dalam hati dalam bentuk ilmu husuli dan merupakan bagian dari wahyu.
Dalam kultur al-Qur'an semua
maujud-maujud mendapatkan saham dari ilmu dan kesadaran serta semuanya dapat
mengambil manfaat dari jenis wahyu dan ilham. Seluruh alam ciptaan dalam sistem
eksistensi berada di bawah pengelolaan Tuhan serta Tuhan adalah pengajar
mereka, dan ini memungkinkan bahwa Tuhan terkadang dari jalan wahyu atau ilham
melontarkan dan memahamkan suatu hakikat kepada manusia, malaikat, hewan,
tumbuhan, bahkan hatta bebatuan; meskipun pada dasarnya terdapat juga
jalan-jalan selain jalan pewahyuan dalam masalah ini.
Oleh karena itu:
Karena wahyu galibnya dari jenis ta'lim
(pengajaran) yang memiliki kekhususan tersembunyi, cepat, dan misteri maka
pengajaran terang-terangan, dihadiri orang lain, lambat, bertahap, dan tanpa
simbol tidaklah masuk dalam kunci dan gembok wahyu.
Simbol atau sandi, bukanlah ambigu dan
bersifat global, sebab dalam perkara global dan ambigu tersimpan kegelapan dan
ketidaktahuan, tetapi ungkapan yang bersandi memiliki isyarat terhadap makna-makna,
dimana dalam perkara wahyu, gembok dan kuncinya berada di tangan para nabi As.
Pengetahuan global berbaur dengan
kejahilan dan ilmu ijmâl (ilmu global dalam ilmu ushul fikh), yaitu percampuran
dari beragam ketidaktahuan dengan satu ilmu.
Kendatipun wahyu galibnya dari tipe
ilmu dan kognisi, tetapi terkadang ia juga dari jenis keputusan dan resolusi
ilmu; dalam berhadapan dengan doktrin dan dogma. Terkadang iradah (kehendak)
melakukan pekerjaan diperoleh dari wahyu, seperti: "Kami wahyukan kepada
ibu Musa…" dan "Kami wahyukan kepada mereka
perbuatan kebaikan…", dimana dalam masalah-masalah ini yang menjadi
perkara diwahyukan adalah iradah, keputusan, dan pergerakan dalam diri, yang
mana tidak satupun dari mereka ini termasuk dari kategori mafhum dzihni.
Demikian pula wahyu, bukanlah munajat
dan pembicaraan bisik-bisik serta sembunyi-sembunyi. Dalam Islam sejati,
seluruh al-Qur'an, adalah wahyu Tuhan: "…dan al-Qur'an ini diwahyukan
kepadaku agar dengan itu aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang yang
sampai (al-Qur'an kepadanya)"; "Kami menceritakan kepadamu (Muhammad)
kisah yang paling baik dengan mewahyukan al-Qur'an ini kepadamu, dan
sesungguhnya engkau sebelum itu dinisbahkan kepadanya adalah orang yang tidak
mengetahui".
Oleh karena itu, jika seseorang
melakukan perenungan, pemikiran, dan tadabbur tentang ayat-ayat al-Qur'an, dia
akan mengenal satu sudut dari rahasia-rahasia wahyu; sebab al-Qur'an adalah
kalam Tuhan dan kalam Tuhan adalah wahyu-Nya. Dia adalah pengajar yang
berbicara dengan manusia dengan perantara wahyu, dan seluruh alam eksistensi serta
manusia mendapat pengajaran serta mendengarkan kalam Ilahi. Di samping itu,
manusia sendiri juga adalah kalam Tuhan. Sebagai petunjuk bahwasanya Tuhan
berbicara dengan manusia dengan kalam-Nya, al-Qur'an menyetir firman Tuhan
dalam ayat-ayatnya: "…dan Allah bebicara (kallama) kepada Musa dengan
pembicaraan (taklîman)"; "…di antara mereka ada yang (langsung) Allah
berbicara dengannya dan sebagian lagi ada yang ditinggikan-Nya beberapa
derajat."
Jadi pada hakikatnya kita dapat
meneliti seukuran kapasitas akal, kemampuan memahami dan mempersepsi diri kita
terhadap wahyu dan kalam Tuhan; sebagaimana dapat juga dengan seukuran
kapasitas itu melakukan penjelajahan intelektual dalam wilayah dzat, asmâ
(nama-nama) dan sifat-sifat-Nya.
Dalam al-Qur'an karim terdapat banyak
ayat-ayat yang berbicara tentang wahyu, dimana masing-masing dari ayat-ayat itu
mengandung pesan-pesan kepada alam pemikiran, makrifat, dan ilmu. Sebelum kami
utarakan beberapa aplikasi dari sebagian ayat-ayat al-Qur'an yang mengupas
tentang wahyu, perlu kiranya beberapa poin berikut ini diketahui:
- Kendatipun makna totalitas wahyu
adalah satu dan terpaparkan dalam bentuk musytarak maknawi (bukan musytarak
lafzhi), akan tetapi dikarenakan di antara misdak-misdak terjadi perbedaan yang
dalam dan jarak yang curam maka hal ini menjadi pangkal timbulnya praduga dan
kemungkinan akan persepsi musytarak lafzhi di antara mereka, dan ini adalah
penyebab dinamakannya makna seperti ini dengan nama musyakkik; sebab
mengarahkan pendengar pada syak dan keraguan bahwa makna lafazh (kata) ini dari
tipe musytarak lafzhi ataukah musytarak maknawi; sementara itu kesatuan
komprehensi adalah dalil dari isytirâk maknawi, sedangkan perbedaan yang dalam
di antara misdak-misdak adalah sanad akan isytirâk lafzhi. Dengan segala
tinjauan, dapat dinyatakan bahwa hakikat makna wahyu adalah satu dan musyakkik.
- Wahyu para nabi As mempunyai
kekhususan tersendiri dan tidak boleh salah dipersepsikan dengan misdak-misdak
lainnya, hatta dengan pengalaman keagamaan para urafa terkemuka.
- Wahyu tasyrii para nabi berbeda degan
wahyu takwini mereka; apatah lagi dengan misdak-misdak wahyu lainnya (maksudnya
lebih jelas perbedaannya).
- Topik wahyu –sebagaimana topik ilmu–
bisa saja hakikatnya adalah satu, dan nisbahnya terhadap faktor pelaku dan
faktor penerima telah menyebabkan timbulnya topik-topik yang beragam; seperti
hakikat ilmu yang jika dinisbahkan kepada faktor pelaku maka ia adalah ta'lîm,
dan jika dinisbahkan terhadap faktor penerima maka ia adalah ta'allum;
kendatipun perbedaan tipis di antara tiga macam topik dan istilah ini (ta'lîm,
ta'allum, dan ilmu) tetap terpelihara. Disini juga peristiwa pewahyuan,
penerimaan wahyu, dan wahyu bisa saja ditilik dimensi keragamannya dan pada
saat yang sama menjaga dimensi kesatuannya.