Problematika Pendidikan Agama Islam di Sekolah
Perubahan sosial semakin
melaju tak terelakkan -sebagai hasil akselerasi ilmu pengetahuan dan teknologi-
telah membuahkan tantangan baru bagi pendidikan agama Islam yang begitu
kompleks. Karena dengan perubahan tersebut, transformasi nilai-nilai kultural
manusia menjadi sebuah keniscayaan, yaitu dari nilai-nilai tradisional ke
nilai-nilai rasional. Dengan demikian, Hossein Nasr memandang terjadinya krisis
ekosistem yang diderita dunia sekarang
ini akibat belaka dari pola berpikir modern telah tercabut dari akar
tunggang moral - transendental.[1]
Hal ini, bila perubahan tidak terarah dengan baik, jelas akan menghadirkan
kecemasan bagi manusia dalam realitas kehidupan umat.
Dengan konsep substansial
dan fundamental Islam yang sifatnya statis dan absolut -secara dogmatis- selalu
berhadapan dengan kebudayaan manusia yang selalu dinamis dan elastis. Bila
perubahan tersebut tidak terjadi keseimbangan–Islam secara dogmatis tidak mampu
mengakomodir kondisi sosial–itu disebabkan kurang cermat dan lihai dalam
meneropong berbagai fenomena yang berkembang dan layunya semangat memandang
dunia ke depan dengan penuh harapan, karena memandang dunia ke depan dengan
penuh harapan akan memberikan spirit dan motivasi dalam berkreasi dan
berinovasi dalam menjaga kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Seperti
inilah yang dialami dalam dunia pendidikan agama Islam, yang kelihatan lamban
dan lambat dalam merumuskan diri untuk merespon perubahan dan kecenderungan
perkembangan masyarakat kita sekarang dan mendatang. Dalam hal ini, menurut
Abdul Rahman Getteng memandang permasalahan pendidikan Islam yang masih
dilematis di era kontemporer ialah; Pertama,
Ambivalensi orientasi pendidikan Islam. Kedua,
Kesenjangan antara pendidikan Islam dan ajaran Islam. Ketiga, Disintegrasi sistem pendidikan agama Islam.[2]
Mencermati fenomena
tersebut di atas, perlu mendapat perhatian serius dalam menyelami format dan
model sistem pendidikan agama Islam di sekolah, yang dapat mengakomodir
tuntutan dan kebutuhan zaman dalam sinaran Islam sebagai agama rahmatan lil
alamin. Orientasi pendidikan agama Islam dalam zaman tehnologi masa kini
dan mendatang perlu diubah, yang semula berorientasi kepada kehidupan duniawy
menjadi duniawy-ukhrawy.[3]
Orientasi ini harus menunjukan tujuan yang jelas dengan memproyeksikan ke masa
depan dari pada masa kini dan masa lampau. Meskipun masa kini tetap menjadi
khazanah kekayaan pendidikan agama Islam yang amat berharga bagi batu loncatan
ke masa depan.
Kemajuan mutakhir dalam bidang
Iptek –elektronik dan informatika– yang terobsesi dan terakumulasi dalam
tatanan kehidupan, idealnya mencari kata kunci dari penyebab kemajuan di bidang
mekanis tersebut Namun, justru sistem pendidikan agama Islam cenderung dalam
bidang humaniora dan ilmu-ilmu sosial
eksakta semacam fisika, kimia, biologi dan matematika modern.[4]
padahal pendidikan agama Islam harus dijadikan center of Islamic thought peradaban dan kebudayaan Islam dan bukan
dijadikan center of learning semata.
Di sisi lain, ketika teknologi
elektronika dan informatika telah mendominasi dalam pikiran, perasaan dan
peraturan umat manusia, telah melemahkan daya mental–spritual umat Islam, yang
tersublimasi dalam aliran rasionalistis dan pragmatis membawa kepada iklim
sekularistik. Dengan demikian, sistem pendidikan agama Islam telah ternodai
oleh aliran deras sekularisme tersebut–dengan adanya pendidikan dikotomi- yakni
dualisme pendidikan, yang memisahkan antara pendidikan agama dan pendidikan
umum. Dengan adanya parsialisasi pendidikan agama (Islam) tersebut, melahirkan
kesan bahwa Islam berorientasi pada ukhrawi semata, dan selanjutnya out-put
dari pendidikan sekuler akan mengalami “kepincangan” hidup serta tidak
fungsional akibat tidak terkonfigurasi dalam kepribadian anak secara integral.
Kemudian sebagian besar
lembaga pendidikan agama Islam belum dikelola secara professonal, manajemen
yang dibangun belum terstrukturisasi secara modern, sehingga kelihatan sudah lapuk dan rapuh serta tertindas oleh kemajuan.
Profesionalisme di sini, bukan hanya memperhatikan dari segi honorarium
pengelola, akan tetapi profesionalisme tersebut perlu diwujudkan dalam
perencanaan, penyiapan tenaga kerja, kurikulum dan pelaksanaan pendidikan agama
Islam itu sendiri di sekolah. Dengan kurang professional pengelola akan
berelasikan dengan sumber daya manusia (SDM). Jadi SDM terbatas akan
mempengaruhi gerak dan langkah dalam pencapaian tujuan pendidikan Islam,
terutama di era globalisasi sekarang ini.
Kemudian yang menjadi tantangan pendidikan agama Islam
sekarang ini di sekolah ialah terjadinya dekadensi moral, baik bagi tenaga
pendidik maupun peserta didik. Bagi tenaga pendidik terlihat dengan adanya yang
kurang disiplin dalam mengajar, adanya korupsi dana anggaran pendidikan di
sekolah, penyalahgunaan narkotika, dan sebagainya. Kemudian bagi peserta didik
dapat terlihat dalam kehidupan yang ’ugal-ugalan’, tawuran, malas belajar,
mengkonsumsi narkoba, kumpul kebo, dan sebagainya. Akan tetapi, orang yang
beragama tidak mesti bagus akhlaknya, karena ada pengaruh atau penyebab yang
lain. Menurut Abuddin Nata,[5] bahwa
akar-akar penyebab timbulnya krisis akhlak ialah:
1.
Krisis akhlak terjadi karena longgarnya pegangan terhadap
agama yang menyebabkan hilangnya pengontrol diri dari dalam.
2.
Krisis akhlak terjadi karena pembinaan moral yang
dilakukan oleh orang tua, sekolah dan masyarakat sudah kurang efektif.
3.
Krisis akhlak terjadi disebabkan karena derasnya arus
budaya hidup materialistik, hedonistik dan sekularistik.
4.
Krisis akhlak terjadi karena belum adanya kemauan yang sungguh-sungguh
dari pemerintah.
Keempat analisis akar penyebab
terjadinya krisis akhlak di atas menunjukkan bahwa persoalan akhlak (prilaku)
merupakan tanggung jawab bersama, baik orang tua, masyarakat maupun pemerintah.
Berbagai penyebab yang diakibatkan krisis akhlak tersebut merupakan suatu hal
yang harus dicermati dengan baik. Pemerintah, keluarga, masyarakat, lembaga
pendidikan dan sebagainya merupakan elemen yang harus bekerja sama dalam
membina prilaku umat manusia.
Dari pembahasan di atas dapatlah disimpulkan
bahwa problematika pendidikan agama Islam sekarang ini karena masih adanya
dikotomi pendidikan yakni pendidikan umum dan pendidikan agama, kebijakan
pemerintah tentang jumlah jam pelajaran agama Islam di sekolah, fasilitas
belajar yang kurang memadai, dana atau anggaran pendidikan yang terbatas,
manajemen lembaga yang belum efektif, sumber daya manusia masih rendah, serta
terjadinya krisis akhlak, baik di kalangan pendidik maupun peserta didik.
[1] Ahmad Syafe’I Ma’arif, 1995, Membumikan Islam,
Cet. II, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar), h. 95
[2] STAIN PALU, Jurnal
Hunafa, Edisi II / 20 pebruari 2000, h.
7
[3] H.M. Arifin, 1995, Kapita Selekta Pendidikan – Islam dan Umum, Cet.
III, (Jakarta : Bumi Aksara), h. 7
[4] Azyumardi Azra, 2000, Pendidikan Islam – Tradisi dan Modernisasi Menuju
Milenium Baru, Cet. II, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu), h. 59
[5] Lihat
Abuddin Nata, 2003, Manajemen Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan
Islam di Indonesia, Edisi I, (Bogor: Prenada Media), h. 221-222.