PENGERTIAN IKHTILAF HADITS
Ikhtilah berasal dari bahasa Arab yang berarti ketidaksamaan, ketidakserasian, atau ketidak cocokan. Ketika ikhtilah diletakan sebagai subjek dapat diartikan “tidak sama, yang tidak serasi, yang tidak cocok”. Apabila kata ikhtilaf dipadukan dengan hadist, maka ia menjadi “ikhtilah hadist” yang berarti hadist-hadist yang satu sama lain mengandung ketidaksamaan, ketidakserasian, atau ketidakcocokan.
Dapat dikatakan bahwa ilmu ikhtilaf al-hadist adalah ilmu yang membahas tentang hadist-hadist yang lahirnya saling berlawanan lalu menghilangkan pertentangan atau mempertemukan antara satu dengan yang lainnya. Sebagaimana juga membahas hadist-hadist yang sulit dipahami lalu menghilang kesukaran dan menjelaskan hakikatnya. Dalam ulumul hadist pembahasan tentang ikhtilaf al-hadist disebut juga ilmu mukhtaliful hadist dan ada sebagian ulama menyebutkan dengan ilmu musykilul hadist, bahkan sebagian ulama lain menanamkan dengan ilmu ta’wilul hadist. Disamping itu juga ada yang menanamkan dengan ilmu talfiqul-hadist.
Penanaman ini di berikan sesuai dengan tinjauan dan penerapan kaedah-kaedah penyelesaian yang mengikat ilmu ikhtilah al-hadist dimaksud. Namun inti dari ilmu tersebut adalah hadist yang tanpak bertentangan kandungan maknanya secara lahiriah. Ilmu Mukhtalifal-Hadist adalah termasuk salah satu bagian dari ilmu hadist yang sangat diperlukan oleh Muhadditsin, fuqaha, dan lain sebagainya. Bagi seseorang yang ingin mengistimbathkan suatu hokum dari dalil-dalilnya. Hendaklah mempunyai pengetahuan yang cukup, pemahaman yang kuat tentang hadist Rasullulah SAW sebagai salah satu sumber hokum. Ia tidak cukup menghafal hadist, sanad-sanadnya tanpa mengetahui ketentuan-ketentuan nya dan tanpa memahami berbagai persoalan sekitar ilmu hadist itu dengan baik.
Hadist yang mukhtalif menurut At-Thahawiy adalah dua buah hadist yang sama-sama berkategori maqbul yang saling bertentangan secara lahiriah dan memungkinkan cara penyelesaiannya dengan mengkompromikannya antara keduanya secara wajar. Namun demikin definisi tersebut dirasa kurang lengkap oleh Al-Syathibi, menurutnya tidak semua hadist mukthalif dapat diselesaikan dengan cara mengkompromikannya, adakalanya harus diselesaikan dalam bentuk naskah atau tarjuh. Dengan demikian makna hadist mukhtalif menurut beliau adalah hadits sahih atau hasan (maqbul) yang secara lahiriah tampak saling bertentangan satu dengan lainnya. Namun makna yang sebenarnya tidaklah bertentangan karena satu dengan lainnya dapat diselesaikan dengan metode jamu’u, naskah ataupun tarjih.
Ilmu Mukhtalif al-Hadits ini awalnya hanya ada dalam bentuk praktisnya saja, belum merupakan suatu teori yang dapat diwarisi. Barulah kemudian Al-Syafi’I membuka lembaran baru sejarah perkembangan yang sebelumnya tidak tertulis menjadi sebuah warisan tertulis dan dapat dipelajari yakni dengan menggunakan teoripenyelesaian hadits-hadits mukhtalifnya dalam sebuah karya ikhtilaf al-hadist, bahkan kitabnya yang secara khusus membahas hadits-hadits mukhtalif dan juga terdapat dalam kitabnya al-Risalah dan pada akhrirnya langkah Al-Syafi’I tersebut diikuti oleh Ibnu Qutaybah, yang juga menulis kitab khusus tenttang hadits-hadits mukhtalif dan penyelesaiannya dengan judul Ta’wil Mukhtalif Al-Hadits. Setelahnya tampil pula Al-Thahawi dengan kitabnya Musykil al-atsari, Ibnu Faurak dengan kitabnya musykil al-hadits wa bayanuh, dan sejumlah tokoh lainnya.