INTEGRALISME POLITIK ISLAM
Di masa modern, dua wajah saling menentang mengemuka dalam pemikiran politik Islam. Disatu kubu para pemikir mengedepankan bahwa agama (Islam) dan negara merupakan satu kesatuan yang integralistik sehingga meninggalkan salah satunya akan mengakibatkan bencana di kehidupan ini. Pengabaian terhadap Politik Islam (Negara Islam) sama dengan pembiaran terhadap syariat ilahiah. Kutub ini umumnya disebut penganut paradigma Integralisme (disebut juga fundamentalisme atau islamisme).
Bagi kelompok ini, Islam adalah agama paripurna yang tidak menyisakan satu pokok bahasan apa pun, termasuk urusan politik. Hal ini telah ditegaskan secara jelas oleh al-Quran, diantaranya :
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu,dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah kuridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (Q.S. al-Maidah: 3)
“Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun di dalam al-Kitab, kemudian kepada Tuhan-lah mereka dihimpunkan.” (Q.S. al-An’am: 38)
“Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu.” (Q.S. al-Nahl: 89)
Begitu pula persoalan politik dan Negara telah mendapat penegasan jelas dari al-Quran. Kata-kata kunci dalam al-Quran dan tradisi Islam seperti khilafah, hukm, ummah, imamah, imarah, wilayah, dan lainnya, menjadi acuan penting mereka untuk merumuskan konsepsi ideal pemerintahan atau Negara Islam.
“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kepada Rasul dan ulul amri yang berada diantara kamu. Jika kamu bertikai tentang sesuatu maka kembalikanlah hal itu kepada Allah dan Rasul, jika kalian beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Itu yang baik dan berakibat yang sebaik-baiknya.” (Q.S. al-Nisa: 59)
Dialah yang menjadikan kamu khalifah (penguasa) di bumi” (Q.S. Fathir: 39).
“Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu untuk melaksanakan amanah itu kepada ahlinya”. (Q.S. al-Nisa: 58)
“ Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang Khalifah di muka bumi.” (Q.S. al-Baqarah: 30)
Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu Imam bagi seluruh manusia. Ibrahim berkata: ‘(Dan saya mohon juga) dari keturunanku’. Allah berfirman: ‘janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim.” (Q.S. al-Baqarah : 124).
“Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kalian dan beramal shaleh (kebaikan), bahwa Dia akan menjadikan mereka sebagai khalifah di bumi, Sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka sebagai khalifah..” (QS. An-Nur : 55).
Ayat-ayat tersebut, meskipun tidak secara rinci merumuskan teori politik Islam, tetapi dengan jelas mengisyaratkan perintah untuk mendirikan Negara dan melaksanakan hukum-hukum Islam baik yang bersifat individual maupun sosial kemasyarakatan, ibadah maupun muamalah. Bahkan dengan kreatif para ulama dan cendekiawan Islam telah merumuskan suatu teori politik Islam yang berdasarkan pada hukum-hukum Islam yang dikenal dengan fiqih siyasah.
Berdasarkan paradigma integralisme, agama yang sempurna berisi semua pengajaran dengan terus menerus diperlukan bagi keselamatan manusia. Secara rasional diakui bahwa tidaklah berlebihan dikatakan jika agama Islam telah memberikan prinsip-prinsip dasar yang tetap, menyeluruh, dan kekal. Adapun persoalan bahwa agama tersebut tidak menyuguhkan elemen-elemen yang berubah-ubah, parsial, dan mungkin, maka dari sudut pandang rasional, hal itu bukanlah dianggap sebagai kekurangan.
Untuk itu ada empat hal yang perlu diperhatikan yaitu pandangan dunia, sistem, mekanisme dan hukum. Keempat hal ini memiliki hubungan dan keterkaitan yang erat dalam tata politik Islam, yang bisa diuraikan sebagai berikut :
Manifestasi setiap pandangan dunia dalam masing-masing bidang kehidupan manusia adalah sistemnya dalam bidang-bidang yang dimaksud. Sistem ini memuat sejumlah komponen yang tidak berubah dan universal. Dan atas dasar beberapa ‘dasar pandangan’, sistem dimaksud mengajukan seperangkat institusi tetap guna meraih apa yang dicita-citakan. Institusi-institusi tetap dalam keadaan-keadaan tertentu membentuk sebuah mekanisme yang menciptakan seperangkat institusi kondisional dan bersifat dependen (tidak mandiri). Dasar pandangan dan institusi termanifestasi dalam ‘hukum-hukum tetap’, sementara pengaruh institusituasional ditemukan dalam ‘hukum-hukum tidak tetap’.
Ismail Raji al-Faruqi, salah seorang pemikir kawakan Islam, menegaskan bahwa Islam memiliki konsep kekhilafahan sebagai bentuk Negara Islam. Menurutnya, al-khilafah atau al-imamah merupakan prasyarat mutlak (condition sine qua non) bagi tegaknya paradigma Islam di muka bumi. Secara internal, khilafah merupakan justifikasi bagi penegakan syari’ah, sedangkan secara eksternal merupakan pengejawantahan kekuasaan untuk kesejahteraan dan kedamaian umat guna mewujudkan tata dunia baru yang berorientasi kepada keadilan dan kedamaian di muka bumi.
Lebih lanjut menurut al-Faruqi, al-khilafah adalah tatanan sosial yang merupakan aktualisasi dari keinginan Allah terhadap kaum muslim, untuk mengatur diri mereka dan memakmurkan bumi ini sebaik mungkin dalam kerangka ilahiah; membangun kebudayaan dan peradaban; dan menambah nilai bagi kosmos. Pembentukan Negara merupakan perintah syariah, karena tanpa Negara unsur-unsur syariah tidak telaksana dengan baik bahkan akan cenderung diabaikan.
Untuk meletakkan basis teorinya, al-Faruqi mengungkapkan beberapa ciri Negara Islam yaitu kedaulatan ditangan Tuhan, berlandaskan hukum Islam, partisipasi menyeluruh warga negara, bersifat pemerintahan universal, egalitarian, dan menghargai kebebasan beragama.
Begitu pula Sayid Muhammad Baqir Sadr, menganggap bahwa membentuk sebuah Negara Islam adalah sebuah keharusan untuk implementasi hukum-hukum ilahi dan aktualisasi potensi kemanusiaan dalam memakmurkan bumi. Dalam bukunya Intoduction to Islamic Political System, Baqir Sadr menegaskan bahwa membangun konsepsi teoritis sebagai basis untuk menerapkan pemerintahan Islam merupakan anjuran syariah yang sangat jelas. Ia menulis :
“Mengkaji pemerintahan Islam merupakan suatu kewajiban dalam agama. Pemerintahan Islam mengimplementasikan aturan Allah di muka bumi sekaligus sebagai sarana pelaksanaan tugas manusia sebagai khalifah Allah. Kajian tentang pemerintahan Islam menggunakan rujukan tersendiri dalam bidang kebudayaan yang secara mendasar dapat membangkitkan semangat sosial yang sangat luar biasa.”
Dukungan Ayatullah Baqir Sadr, terhadap pemerintahan Islam terlihat dari sikapnya mendukung penuh pendirian Republik Islam Iran. Bukan hanya itu, ia menawarkan suatu sistem dan prinsip-prinsip bagi pendirian Republik Islam dengan cukup detail dan praktis, diantaranya adalah bahwa kekuasaan mutlak milik Allah, perintah-perintah Islam menjadi landasan perundang-undangan dalam Republik Islam, masyarakat memepercayakan keuasaan legislative dan eksekutif serta bertanggung jawab untuk menghukumi mereka berdasarkan hukum Islam, Wali faqih secara resmi mewakili Islam dan menjadi wakil Imam Mahdi.
Pemikir integralisme lainya, Said Hawwa bahkan dengan tegas menyatakan bahwa persoalan politik dan pemerintahan Islam adalah termasuk hal yang badihiyat (aksiomatik) dan tidak dapat di tawar-tawar lagi. Sebab, Islam adalah suatu sitem yang sempurna dan lengkap serta mencakup semua sistem politik, ekonomi, sosial, dan moral. Oleh karenanya, mengabaikan atau melupakan sebagian dari sistem Islam berarti menghalangi perjalanan seluruh sistem Islam itu sendiri. Begitu pula, menegakkan politik yang tidak didasarkan pada Islam merupakan hambatan dan sekaligus tantangan nyata terhadap sistem Islam. Sehingga, orang-orang yang menganjurkan pemisahan Islam dari urusan politik, berarti telah menyingkirkan dan menyimpangkan Islam dari posisinya yang benar, tegas Said Hawwa.
Selain itu, kaum muslimin diperintahkan untuk menegakkan kalimatullah di muka bumi, dan hal itu mengharuskan kaum muslimin menjadi penguasa dan mendirikan pemerintahan Islam. Pemerintahan tersebut bersifat tunggal dan universal dalam satu sekutu, satu jemaah, dan satu kepemimpinan. Dengan penuh kesungguhan dan menganggap Barat sebagai kaum kafir, munafiqin, dan fasiqin, Hawwa menegaskan :
“Kami yakin seyakin-yakinnya meskipun situasi dan kondisi yang dilalui terlalu sulit dan keras Negara Islam Internasional (Daulah Islamiyah al-Alamiah) pasti akan tegak dan dunia akan menyaksikannya sebagai kenyataan dengan izin Allah dan kami akan bekerja dengan penuh keyakinan yang dalam, untuk tegaknya negara ini dan memajukan langkah-langkah kami. Sebab suatu pertempuran yang dipimpin oleh Allah swt pasti akan mendapat kemenangan, bila mereka menunaikan hak Allah . Dan saya nyatakan kepada orang-orang kafir akan firman Allah, ‘Jika kamu menghina kami, maka kami akan menghinakan kamu sebagaimana kamu menghina’. (Q.S. Hud: 38)”
Selaras dengan Hawa, adalah Muhammad Asad pemikir Pakistan asal Polandia yang bernama asli Leopold Weiss yang menyayangkan banyaknya pemikir dan ulama-ulama Islam yang terpengaruh pikiran Barat sekular sehingga bercita-cita membangun negara sekular dan memandang pendirian Negara Islam sebagi hal yang ketinggalan zaman, reaksioner, dan utopis (mustahil). Padahal, kata Asad, negara sekular tidak akan dapat memberikan kedamaian dan melenyapkan kekacauan. Sedangkan, suatu pemerintahan yang dibina atas dasar-dasar agama, akan memberikan pandangan lebih luas dan lebih baik terhadap kesejahteraan bangsa. Karena itu, bagi Asad, membentuk Negara Islam adalah tanggung jawab kita semua.
Untuk merealisasikannya, dengan penuh kesungguhan disamping tuntutan pendirian Negara Pakistan Asad merumuskan sistem politik Islam dalam karyanya Islamic Constitution Making sebagai panduan untuk mendirikan Negara Islam. Menurutnya, Negara diperlukan sebagai alat untuk mencapai tujuan dan cita-cita Islam, yaitu menciptakan perkembangan masyarakat yang menjalankan persamaan hak dan keadilan, menegakkan kebenaran dan menentang kesalahan, serta menjelmakan keadilan sosial yang dapat menyelamatkan kehidupan manusia lahir ataupun batin berdasarkan hukum Islam.
Dalam bentuk gerakan, kalangan integralisme atau fundamentalisme telah membangun suatu jaringan internasional sebagai ikhtiar mengimplementasikan gagasan Negara Islam. Diantaranya kita mengenal gerakan Ikhwan al-Muslimun di Mesir, Jamaat Islami di Pakistan, PAS di Malaysia, FIS di Al-Jazair, Taliban di Afghanistan dan NII di Indonesia.
Ikhwan al-Muslimun didirikan oleh Hasan al-Banna pada 1928 diakibatkan kondisi sosial, budaya, dan politik yang berkembang di Mesir. Meskipun awalnya hanya merupakan gerakan edukatif dan sosial, namun perlahan-lahan ia menjadi gerakan ideologis, terutama pasca muktamar ke-5 Ikhwan pada tahun 1938, yang menandaskan prinsip-prinsip penting, diantaranya :
- Inklusivitas Islam yang menekankan Islam adalah agama dan Negara, ibadah dan jihad, ketaatan dan perintah, kitab dan pedang.
- Islam harus dikembalikan kepada ajaran-ajaran awalnya dari al-Quran dan sunnah sebagaimana dipahami oleh sahabat nabi dan generasi salaf.
- Pan-Islam yang menegaskan bahwa umat Islam adalah umat yang satu dan tanah air Islam adalah tanah air yang satu.
- Konsep khilafah dipahami sebagaimana sebelumnya sebagai simbol kesatuan Islam.
- Pemerintahan Islam merupakan ajaran dasar dalam Islam.
Perkembangan pesat Ikhwan menjadikannya gerakan ideologis sekaligus politis yang mengancam pemerintahan masa itu sehingga dianggap sebagai organisasi terlarang. Hal ini karena organisasi tersebut menerapkan dua program penting. Pertama, internasionalisasi gerakan yang menekankan perjuangan membebaskan tanah air Islam di seluruh dunia dari cengkraman penguasa asing. Kedua, Meruntuhkan pemerintahan Mesir yang sedang berkuasa, dan membentuk Negara Islam yang merdeka di Mesir dengan seluruh unsur-unsurnya.
Selain al-Banna, ideologi penting Ikhwan al-Muslimun adalah Sayid Quthb. Tulisan-tulisannya yang banyak menyoroti kondisi sosial, politik, dan ekonomi, telah menjadi bacaan wajib para kader-kader dan anggota Ikhwan al-Muslimun. Hasilnya, lahir sebuah militansi dan radikalisme Islam yang menjadi arus baru melawan gerakan modernis, liberal, dan sekular Mesir.
Pembagian resmi wilayah menjadi dua kutub: wilayah Islam dan wilayah kafir, atau Islam dan jahiliyah, memberikan inspirasi bagi gerakan radikal Ikhwan untuk menumbangkan setiap bentuk pemerintahan yang ada dan mendirikan sebuah Negara yang benar-benar islami. Akibat keyakinan, sikap, dan perjuangannya, ia ‘dihadiahi’ untuk mengakhiri hidupnya di tiang gantungan.
Pengaruh Sayid Quthb, dalam titik ekstrimnya juga tercermin dalam karya-karya ideologis dan tindakan Syukri Musthafa, pimpinan organisasi Jamaat al-Muslimin. Baginya, Negara Islam yang harus ditegakkan adalah menurut ketentuan dan model Nabi Muhammad saaw. Sebagai basis ideologis, Syukri menggariskan prinsip-prinsip sebagai berikut :
Pendekatan Islam
Islam telah terasing. Masyarakat-masyarakat yang ada akan runtuh, Islam akan mengalami pencerahan yang ditimbulkan oleh suatu kelompok elite yang dipercaya akan melompat dari bukit-bukit Yaman sembari menghunus pedang.
Hijrah.
Perlunya meninggalkan masyarakat yang ada untuk memulai membentuk unit-unit masyarakat Islam yang diharapkan melalui hijrah ke gunung dan gua.
Konsep tentang berhenti dan belajar.
Menolak untuk menerima bahwa dengan hanya memenuhi lima rukun Islam maka seseorang dapat menajdi Muslim yang sempurna. Ini merupakan kewajiban untuk mencegah diri sendiri dari tindakan-tindakan yang diharamkan oleh Allah, sebab jika tidak maka setiap Muslim akan dianggap sebagai orang kafir.
Untuk merealisasikan prinsip-prinsip di atas, dirancanglah program aksi sebagai berikut :
Menciptakan struktur organisasi kelompok dengan memilih Syukri Mustafa sebagai Amir tertinggi dan dipilih pula amir-amir untuk masing-masing daerah.
Menyewa rumah-rumah untuk digunakan sebagai kantor gerakan bawah tanah lokal di Kairo, Iskandariyah, dan distrik lainnya.
Migrasi kelompok ke gua-gua dan celah-celah pegunungan untuk menerapkan ideologi.
Merekrut orang-orang militer sebanyak mungkin untuk digunakan dalam operasi dan melatih anggota-anggota organisasi, serta membawa senjata-senjata untuk perjuangan.
Di Pakistan, Jama’ah Islami, didirikan atas prakarsa Abul A’la al-Maududi pada 21 Agustus 1941, dalam perjuangan kemerdekaan anak benua India dari penjajahan Iggris, juga merupakan gerakan fundamentalisme yang berpengaruh di dunia. Dalam anggaran dasarnya disebutkan bahwa Jamaat Islami bertujuan untuk menegakkan kedaulatan Tuhan di muka bumi dan menjadikan Islam sebagai sistem dan jalan hidup di atas dunia. Sesuai dengan visi universalisme Islam yang dianut Jamaat Islami, maka gerakannya pun bersifat mendunia dan tidak terbatas hanya pada kawasan atau Negara tertentu. Maududi menegaskan bahwa aktivitas organisasinya akan dilakukan di seluruh dunia hingga kedaulatan Tuhan betul-betul tegak di muka bumi, dan Islam menjadi jalan hidup bagi semua manusia.
Sebagai bentuk praktis penegakkan kedaulatan Tuhan, Jamaat Islami menginginkan berdirinya sebuah ‘Negara Islam yang sebenarnya’ sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Muhammad saaw dan Khulafa al-Rasyidin. Negara tersebut mesti berdasarkan pada empat prinsip yaitu kedaulatan ada di tangan Tuhan, hukum tertinggi dalam Negara adalah syariah, pemerintah adalah pemegang amanah Tuhan untuk melaksanakan kehendak-kehendak-Nya, dan pemerintah tidak boleh melampaui batas yang telah ditetapkan Tuhan.
Begitupula dengan gerakan-gerakan lainnya yang lebih bersifat nasional, seperti partai PAS di Malaysia, FIS di al-Jazair, Taliban di Afghanistan dan NII di Indonesia yang semuanya mengambil ide pendirian Negara Islam sebagai realisasi pemerintahan Tuhan. PAS dan FIS menjadi partai politik yang selalu membayang-bayangi pemerintah sekular, bahkan FIS pernah memperoleh kemenangan di al-Jazair (1990) yang terobsesi untuk menegakkan asa-asas Islami dengan mengganti motto dan bendera al-Jazair dengan tulisan “Kotapraja Islam”.
Dengan kemenangan tersebut, FIS mendapat kesempatan untuk mengaktualisasikan ide-idenya tentang negara Islam seperti melarang rai (perpaduan musik tradisional dan rock), menutup klab-klab malam, malarang al-kohol, menghentikan subsidi untuk kegiatan atletik, menyelenggarakan ‘pasar Islam’, dan mewajibkan busana islami.
Sedangkan Taliban berhasil berkuasa dan memerintah Afghanistan sampai diruntuhkan oleh agresi Amerika pada 2003 yang lalu, dengan tuduhan menyembunyikan teroris paling dicari didunia, Osama bin Laden.
Adapun NII (Negara Islam Indonesia) di bawah pimpinan Kertosuwiryo, mengambil langkah ekstrim dengan melakukan gerakan bersenjata untuk merebut kekuasaan dari tangan pemerintah Soekarno. Perjuangannya dilanjutkan oleh DI/TII di Aceh dan Kahar Muzakar di Sulawesi. Sampai saat ini, gerakan-gerakan fundamentalisme Islam terus hidup di Indonesia melalui partai-partai politik dan organisasi-organisasi Islam seperti PKS (Partai Keadilan Sejahtera), HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), MMI (Majelis Mujahidin Indonesia), Laskar Jihad, dan Front Pembela Islam. Adapun, satu-satunya daerah yang mendapat ‘keistimewaan’ pertama menerapkan syariat Islam adalah Nangroe Aceh Darussalam.
Zainal Abidin Ahmad, salah seorang ulama Indonesia menegaskan bahwa cita-cita mendirikan Negara Islam adalah cita-cita abadi umat Islam. Beliau mengingatkan akan bahayanya ide-ide penjajah yang mempengaruhi kaum muslimin dan para ulamanya untuk menjauhi pentas politik, padahal bagi Zainal, Islam memiliki unsur-unsur politik, rencana-renacana dan teori-teori politik yang handal dan berjasa membangun dunia. Dengan mengutip ayat al-Quran, Hai orang-orang beriman, taatilah Allah, taatilah Rasul, dan ulil amri diantara kamu (Q.S. al-Nisa: 58), Zainal menjelaskan tiga kandungan penting ayat tersebut yaitu :
- Mesti membentuk Negara
- Mengadakan pemimpin-pemimpin yang menjalankannya
- Mesti taat kepada pemimpin Negara yang terpilih.
Pembembahasan di atas merupakan gerakan-gerakan politik Islam fundamentalis atau integralis ini, banyak mengemuka setelah peristiwa besar mengguncang dunia pada 1979, yakni dengan terjadinya Revolusi Islam di Iran. Revolusi yang dianggap sebagai paling monumental di abad dua puluh ini, digerakkan oleh para mullah dan ulama yang berpenampilan tradisionalis dengan jubah dan jenggotnya. Revolusi berbasis agama ini telah menjadikan para pemikir dan intelektual dunia merumuskan ulang teori-teori sosial dan gerakan pembebasan di dunia, baik untuk tujuan akademisi menambah pengetahuan atau tujuan politik untuk menghambat ekspor revolusi Iran ke Negara-negara Islam lainnya.
Imam Khumaini, sebagai motor penggerak revolusi, menjadi ikon fundamentalisme kontemporer dan paradigma integralisme yang mengajarkan : kesatuan agama dan politik, keharusan mendirikan Negara Islam, mendudukkan ulama sebagai pemimpin, dan menerapkan hukum-hukum Islam secara menyeluruh. Keyakinan Imam Khumaini akan urgennya Negara Islam ditegaskannya dalam berbagai kesempatan, salah satunya sebagai berikut :
“Menjaga dan membela wilayah teritorial kaum muslimin dari serbuan musuh adalah sebuah keharusan, baik secara akal maupun syariat. Kondisi ini mustahil dilakukan tanpa membentuk sebuah pemerintahan. Semua itu merupakan kebutuhan kaum muslimin. Dan kebutuhan yang sangat vital ini mustahil tidak mendapat perhatian Allah Mungkinkah Allah yang terkenal dengan hikmah-Nya membiarkan umat Islam tanpa menentukan kewajiban untuk mereka? Ataukah Allah rela dengan berbagai kekacauan dan rusaknya sebuah sistem?
Pendirian Imam Khumaini tersebut dirumuskan dalam satu teori politik yang dikenal dengan wilayah al-faqih (pemerintahan para faqih/ulama), dan diperjuangkannya sepanjang hidupnya hingga akhirnya berhasil menghancurkan kekuasaan tirani Syah Pahlevi, dan mendirikan suatu Negara Islam yang sepenuhnya tunduk pada konsepsi wilayah al-faqih yakni Republik Islam Iran.
Diskusi tentang politik Islam dalam pemikiran yang sistematis menyuguhkan argumentasi bahwa Islam memuat seperangkat elemen yang tidak berubah, abadi, tak terikat ruang dan waktu, dan selaras, sekaligus membentuk apa yang kita sebut sebagai sistem. ‘Politik’ selalu eksis dan merupakan salah satu aspek tepenting dalam kehidupan masyarakat. Islam memberikan sebuah sistem politik yang bersifat komfrehensif, masuk akal, dan berdimensi nasional dan internasional. Sistem Islam ini memuat doktrin dan sperangkat institusi yang berlaku universal. Meskipun pada kenyataanya ‘sistem politik Islam’ itu inklusif tehadap semua sistem lain, seperti ekonomi, hukum, dan pendidikan, namun secara teoritis, sistem politik Islam memiliki kekhasan sehingga dapat digambarkan secara tersendiri.
Pembicaraan di atas menggambarkan bahwa bagi penganut integralisme, Pemerintahan Islam adalah keniscayaan yang harus diperjuangkan sampai kepan pun. Sesuai dengan hikmah-Nya, Tuhan senantiasa memberikan petunjuk dan bimbingan serta aturan, maka apakah Tuhan akan melupakan urusan Negara yang menurut pendapat di atas merupakan kebutuhan vital manusia sebagai makhluk sosial.
Dengan segala keyakinannya tersebut, maka kaum integralisme berjuang dengan sekuat tenaga untuk mendirikan Negara merdeka yang dinyatakan secara formal sebagai Negara Islam meskipun dalam beberapa hal mengadopsi tata politik modern. Setidaknya sejak perang dunia kedua kita bisa mencatat Negara-negara muslim yang meraih kemerdekaanya dan menyatakan diri sebagai Negara Islam diantaranya, Afghanistan, Mesir, Arab Saudi, Pakistan, dan Iran.