FIQIH DI ANTARA TEKSTUAL DAN KONTEKSTUAL



BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang  Masalah
Kajian fiqih merupakan produk ulama dan hasil pemahaman terhadap wahyu. Meskipun manusia memegang peranan penting dalam memahami wahyu tetapi hal yang tidak boleh diabaikan ia tidak boleh keluar dari konteks wahyu.[1]
Ada dua tahapan yang harus dilalui oleh umat Islam untuk menjadikan syari’at sebagai pengendali kehidupannya. Pertama, tahap pemahaman mendalam terhadap syariat. Tahapan ini diisi dengan serangkaian upaya dalam memahami menggali dan mengambil hukum dari wahyu dan al-hadits. Pendek kata umat Islam harus mendalami ilmu fiqih dan perangkat ilmu pendukung  lainnya serta berusaha mengoperasionalkannya dalam proses ijtihad. Kedua, tahapan pembumian. Tahapan ini diisi dengan aktualisasi nilai-nilai syariat yang sudah dikontruksikan melalui fiqih dalam kehidupan sosial.[2]
Kedua tahapan tersebut belum tentu menjamin adanya titik temu antara realita kehidupan idialitas syariah secara pasti karena dimungkinkan adanya kekurangan atau kesalahan pada salah satunya atau keduanya. Oleh karena itu membutuhkan kerja keras akal manusia berupa ijtihad yang akan memungkinkan syariah atau wahyu dapat terlaksana dengan benar sehingga ada kesesuaian antara perilaku sehari-hari dengan kehendah Tuhan.
Fiqih telah memberikan pengaruh yang sangat mendalam dalam kehidupan umat Islam. Fiqih sebagai formulasi pemahaman terhadap syariah telah menjalankan dua fungsi. Pertama, fiqih berfungsi membangun perilaku setiap individu muslim berdasarkan aqidah, syariah dan akhlak. Kedua ia merealisasikan sebuah tatanan kehidupan sosial masyarakat yang sejalan dengan nilai syariah, seperti keadilan, persamaan dan kemitraan. [3]

B.       Rumusan Masalah
Adapun permasalahan-permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah :
1.      Apakah fiqih ? Dan apa perbedaannya dengan Syari’at ?
2.      Apa saja yang menjadi ruang lingkup fiqih ?
3.      Bagaiman pola pikir manusia dalam mengistimbatkan nash-nash sehingga menjadi sebuah hukum ?
4.      Pola pikir yang bagaimana yang dianggap lebih baik dalam mengistimbatkan nash ?

C.      Tujuan Penulisan Makalah
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1.      Untuk mengetahui fiqih, syariat, dan perbedaannya serta ruang lingkupnya.
2.      Untuk mengetahui pola pikir manusia dalam mengistimbatkan nash hingga menjadi sebuah hukum.


D.      Metode Penulisan
Dalam penulisan makalah ini, penulis menggunakan pendekatan dengan metode deskrptif, yaitu suatu penelitian dengan mengumpulkan data-data dan menganalisa serta menarik kesimpulan dari data-data tersebut dengan mengadakan library research, yaitu dengan cara menelaah sejumlah buku-buku dan web untuk memperoleh data-data, teori-teori, dan konsep-konsep yang berhubungan dengan makalah ini. Kiranya dengan menggunakan metode tersebut penulisan makalah ini dapat berguna bagi kita semua.







BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN FIQH DAN SYARIAH
1.  Pengertian Fiqh
Fiqh menurut bahasa artinya tahu dan faham terhadap sesuatu. Sedangkan menurut istilah adalah :
a.       Menurut Dr. Muhammad El Ghandur adalah ilmu pengetahuan tentang hukum-hukum Allah atas perbuatan orang-orang muallaf, hukum wajib atau haram dan sebagainya, tujuan supaya dapat dibedakan antara wajib, haram atau boleh dikerjakan.
b.      Menurut Ibnu Khaldun dalam kitab "Muqadimah", fiqh adalah pengetahuan tentang hukum-hukum Allah di dalam perbuatan orang mukallaf seperti haram, wajib, sunnah, makruh dan mubah, hukum itu diambil dari Al Qur'an dan sunnah serta dari sumber-sumber dalil lain yang ditetapkan oleh Allah.
c.       Sedangkan menurut Masfuk Zuhdi, fiqh adalah ilmu yang merupakan bagian dari ilmu syari'ah.[4]
Dari pengertian yang dikemukakan para ahli di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa fiqh adalah ilmu pengetahuan tentang hukum-hukum Allah dalam perbuatan mukallaf yang diambil dari Al Qur'an dan As-Sunnah, seperti wajib, sunnah, makruh dan mubah yang merupakan bagian dari yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan dan manusia dengan manusia.
2.  Pengertian Syari'ah
Syari'ah menurut bahasa adalah sumber air yang mengalir, hukum-hukum Allah yang diturunkan untuk manusia, peraturan, jalan yang lurus. Sedangkan menurut istilah adalah :
a.      Menurut Muhammad Aki at-Tahanuwi, syari'ah ialah hukum-hukum Allah yang ditetapkan untuk hambaNya yang disampaikan melalui para Nabi/RasulNya baik hukum yang berhubungan dengan amaliyah yang dimasukkan dalam ilmu fiqh maupun hukum yang berhubungan dengan aqidah, hukum ini dimasukkan dalam ilmu kalam.
b.      Menurut Acmad El Ghandur adalah hukum-hukum ( peraturan ) yang diturunkan Allah SWT melalui rasul- rasulNya yang mulia untuk umat manusia aagar mereka keluar dari kegelapan ke dalam terang dan mendapatkan petunjuk ke arah yang lurus.
c.       Menurut Manna, Khalil al-Qothan adalah apa-apa yang ditetapkan oleh Allah bagi para hambaNya baik mengenai keyakinan, ibadah, akhlak, muamalat ataupun tatanan kehidupan lainnya. Dengan segala cabangnya yang bermacam-macam, guna merealisasikan kebahagiaan baik kebahagiaan di dunia maupun di akhirat.[5]
Dari beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ahli tersebut dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa syari'at adalah semua peraturan-peraturan yang diturunkan oleh Allah kepada semua manusia yang merupakan wahyu dari Allah untuk mengatur perilaku manusia.
3. Perbedaan Syari'ah dengan Fiqh
Dari uraian tentang syari'ah dan fiqh di atas dapat diambil sebuah pengertian bahwa terdapat perbedaan antara syari'ah dan fiqh, di antaranya,
a.       Fiqh merupakan bagian dari syari'ah, jadi syari'ah itu lebih luas daripada fiqih.
b.      Syari'ah merupakan wahyu dari Allah yang beralaku sepanjang zaman, sedangkan fiqh dimungkinkan ada perubahan dan perbedaan pendapat dari para ulama', sebab fiqh adalah produk ulama walaupun semua didasarkan pada Al Qur'an dan sunnah.

B. RUANG LINGKUP FIQH
Bahasan  ilmu fiqh antara lain:
1.      Bagian ibadah yaitu suatu bagian yang membicarakan hukum-hukum yang dipakai untuk mendekatkan diri kepada Allah dan untuk mengagungkan kebesaranNya seperti sholat, zakat, puasa dan haji.
2.      Bagian Ahwal Syahsiah yaitu bagian yang membicarakan hukum-hukum yang berhubungan dengan pembentukan dan pengaturan keluarga dan segala akibat-akibatnya, seperti perkawinan, maskawin, nafkah, perceraian, talak, rujuk, iddah, hadhanah, rodho'ah, warisan, wasiat dan lain-lain. Kebanyakan oleh para mujtahidin, bagian ini dimasukkan dalam bagian mu'amalah.
3.        Bagian muamalat, suatu bagian yang membicarakan hukum-hukum yang mengatur harta benda hak milik, aqad dan kerjasama sesama manusia, seperti jual beli, ijarah, rohan, syirkah dan lain-lain.
4.      Bagian Hudud dan ta'zir atau hukum pidana yaitu bagian yang membicarakan hukum-hukum yang membicarakan hukum-hukum yang berhubungan dengan kejahatan, pelanggaran dan akibat-akibat hukumnya.

5.      Bagian marofa'at atau hukum acara, yaitu bagian yang membicarakan hukum-hukum yang mengatur cara mengajukan perkara, perselisihan, penuntutan dan cara-cara menetapkan suatu tuntutan yang daapat diterima dan cara-cara yang dapat melindungi hak-hak seseorang.
6.      Bagian siyarul mughozi, yaitu bagian yang membicarakan hukum-hukum yang mengatur peperangan antar bangsa, mengatur perdamaian, piagam perjanjian, dokumen-dokumen dan hubungan-hubungan umat Islam dengan bukan Islam. Dalam pembahasan ini penulis tiadak membedakan syari'ah dengan fiqh.

C. FIQH DALAM PERSPEKTIF EPISTIMOLOGI
Maksud topik ini adalah bagaimana caranya mengetahui pesan-pesan syar'i yang dituntunkan oleh Allah sebagai pembuat hukum dan rasul sebagai pengemban untuk menyampaikan hukum-hukum itu kepada seluruh umat manusia.
Berhubung bahasa pengantar kedua teks itu adalah berbahasa Arab, maka siapa saja yang ingin memahami kedua teks tersebut haruslah menguasai bahasa itu dengan mendetail. Tanpa menguasai bahasa Arab mustahil dapat melakukan  istimbat hukum yang terdapat dalam teks.[6] Walaupun menguasai bahasa Arab belum merupakan jaminan dapat melakukan istimbat secara sempurna. Bahasa hanya merupakan satu faktor di antara sekian banyak faktor. Contohnya di dalam Al Qur'an ada seruan untuk melakukan sholat, dalam pelaksanaannya harus dikaitkan dengan  ayat-ayat yang lain seperti ayat tentang wudlu sebagai prasyarat untuk melakukan sholat, juga harus dikaitkan dengan hadits-hadits nabi yang berhubungan dengan sholat.
Permasalahannya tidak cukup sampai di situ bagaimana bacaan al Fatihah bagi makmum, apakah membaca bersama imam pada saat imam membaca dengan jahr, atau membaca fatihah setelah imam membaca al Fatihah sebelum imam membaca surat, ataukah pada saat imam membaca surat setelah al Fatihah atau membaca dalam hati bersamaan dengan imam membaca al Fatihah. Praktek umum di masyarakat ternyata tidak sama.
Kasus tersebut terjadi dalam sholat yang merupakan ibadah mahdhoh yang tidak boleh ditambah atau dikurangi dan kita tidak boleh ikut mengaturnya. Para ulama berbeda faham dan masing-masing berhujjah. Dalam bidang mu'amalat pendapat para mujtahid semakin kompleks yang masing-masing juga memiliki pandangan yang berbeda-beda. Belum lagi masalah-masalah yang zaman nabi memang belum pernah terjadi atau masalah-masalah ijtihadi, seperti perbankan, transpalansi organ tubuh, bayi tabung, cloning dan berbagai macam persoalan kontemporer lainnya yang tentu semakin banyak dan beragam cara dan hasil ijtihad para ulama.
Al Syatibi membagi pola pandang terhadap nash untuk mengistimbatkan hukum menjadi empat kelompok besar yaitu, pola pikir zhahiriyah ( tektual ), bathiniyat, maknawiyah ( kontektual ) dan gabungan antara tektual dan kontektual.[7]
1.      Pola Pikir Zhahiriyat
Kelahiran madzhab Zhahiriyat dipimpin oleh Dawud bin Al Kholaf Al-Asbhani al zhahiri lahir di Kufah tahun 202 H. Wafat di Baghdad th. 270 H.[8] Menurut pola pikir kaum tektual maksud syara' hanya dapat diketahui dari lafaz teks sebagaimana apa adanya yang tersurat. Kaum ini berpegang lahirnya nash, maka dalam menentukan hukum tidak perlu memerlukan bantuan dari luar nash, sebagai konsekwensinya mereka menolak maslakhah mursalah, istisan maupun qiyas dalam menentukan hukum. Meskipun begitu kaum zhahiriyat menerima ta'wil sebagaimana ulama mutakallimin, hanya saja penerapannya agak berbeda.

Kaum zhahiriyat menerima ta'wil manakala ada nash yang lain yang mengeluarkan dari makna lahirnya. Itupun harus dhahir pula baik nash dari Al Qur'an maupun al Hadits. Ringkasnya zhahirnya suatu nash hanya dapat dita'wil dengan nash  lain yang berjenis lafadz zhahir pula. Jadi jika diurut lebih jauh, penerapan ta'wil di kalangan mereka tetap tidak menggeser posisinya sebagai kaum zhahiriyat.
Meskipun mereka berdiri secara kokoh dalam tektualitasnya, namun mereka tidak berpandangan sempit dan kaku dalam istimbat hukum. Setiap lafal diberlakukan secara 'am kecuali nash dhahir lain yang mengeluarkan dari arti yang umum. Sebagai contoh lafat al  “ khomr “ dalan surat al Maidah ayat 90, diartikan " Kullu ma takhammaro (apa saja yang seperti khomr)" dengan demikian kaum zhahiriyat juga mengharamkan pil koplo, ekstasi, wiski dan lain-lain yang memabukkan.
2.      Pola Pikir Batiniyat
Pola pikir bathiniyat adalah bentuk kegiatan berfikir yang dalam istimbat hukum dari nash yang tidak berpegang pada lafal sebagaimana yang tersurat.[9] Jadi pola pikir bathiniyat lebih liberal dan tidak menggunakan kaidah umum seabagaimana yang terdapat dalam kajian ilmu ushul fiqh.
Golongan ini didukung oleh sekte syi'ah batiniyat. Mereka mempercayai imamnya kebal salah dan kebal dosa, apa yang dikatakan imam adalah sebuah kebenaran.. Golongan ini berpendapat bahwa setiap yang lahir pasti ada batinnya dalam  setiap yang turun dalam arti wahyu ada ta'wilnya. Karena corak pemikiran kaum bathiniyat yang begitu liberal tanpa menggunakan kaidah apapun sebagaimana para muafassirin, ta'wilnya merusak Al Qur'an, maka Al Dhahabi menghujat sebagai kaum majusi. Memperhatikan cara penafsiran dan pengambilan hukum dalam al Qur'an  serta kritik tajam dari para ulama, nampak jelas bahwa kaum bathiniyat memang bukan orang Islam tetapi orang-orang yang akan merusak Islam.
3.      Pola Pikir Kontektual
Sebenarnya pengertian pola pikir kontektual dalam memahami maksud syara' mempunyai kandungan yang amat luas. Mujtahid dapat melakukan pendekatan apa saja dalam memahami syara' asalkan misinya tetap yaitu kemaslahatan umum. Mujtahid mengaitkannya dengan latar belakang sosial dimana atau kapan wahyu turun, mengaitkannya dengan latar belakang kondisi sosial politik, adat istiadat di mana ia tinggal mengaitkan dengan masalah-masalah global dan kontemporer.[10] Menurut Al-Syatibi kaum penganut kontektual adalah kelompok yang amat gemar melakukan qias atau analogi. Kelompok ini lebih memprioritaskan makna lafal daripada lafal itu sendiri.
 Sebagai contoh ketika mereka memahami surat Al Maidah ayat 38 tentang potong tangan yang secara lahiriyah pencuri harus dipotong tangannya sebagai hukuman kejahatannya, akan tetapi bukan lahiriyah itu yang mereka maksud, melainkan supaya mereka berhenti mencuri. Tindakan prefentif untuk mencegah munculnya pencurian, bukan hanya menghukum potong tangan bagi pencuri melainkan dapat ditempuh dengan memenjarakan atau mencipkan kondisi sosial yang dapat mencegah timbulnya pencurian. Cara yang demikian menurut kelompok ini lebih manusiawi dan maslahat. Ada kemungkinan pencuri tersebut jera dan menyadari kekeliruannya sehingga tidak mengulangi perbuatannya lagi.
4.      Pola pikir Gabungan antara Tekstual dengan Kontekstual
Menurut Al Syatibi, golongan yang berpola pikir tektual dan kontektual ini adalah golongan yang benar-benar matang di dalam memahami syara'.
Prosedur pemikiran kelompok ini adalah :
a.      Mempertimbangkan maksud dalam amr dan nahi terhadap bunyi nash. Contoh perintah sholat. Maka tidak boleh tidak perintah itu harus dilaksanakan. Dilarang untuk makan sembelihan yang tidak disembelih dengan menyebut nama Allah. Maka setiap sembelihan harus disebut nama Allah dan apabila tidak, maka hukumnya haram untuk dimakan.
b.      Mencari illat kalau mungkin ada, baik dalam kalam amar maupun nahi tersebut dengan mempertanyakan mengapa, jika ternyata illat itu dapat ditemukan, maka mereka melakukan perintah atau tidak melakukan suatu perbuatan atau tidak melakukan suatu perbuatan karena illat tersebut. Contohnya, ayat tentang puasa tujuannya supaya bertaqwa, maka illat puasa adalah supaya bertaqwa. Ketidakbolehan sholat karena mabuk. Jadi mabuk menjadi illat dari tidak bolehnya sholat.

c.         Mempertimbangkan makna asliyat dan makna tabi'iyat yaitu makna asal dan makna yang mendampinginya. Contoh dalam kasus pernikahan tujuan utamanya adalah mendapatkan keturunan, sedangkan tujuan yang mengikutinya adalah untuk mencari ketenangan hidup, tolong menolong, bersenang-senang dengan lain jenis dengan cara yang halal, menjaga diri dari dosa zina, mendapatkan kasih sayang. Keseluruhan maksud syara' ini sebagian dapat diketahui dengan nash tetapi sebagian dapat diketahui melalui dengan dalil-dalil lain seperti qiyas, pengalaman empiris dan penyimpulan secara induktif.

D. FIQH DILIHAT DARI ASPEK AKSIOLOGI
Pembahasan ini mengarahkan kepada bentuk aplikasi dari ontology fiqh dan aspek aksiologi yang dalam hal ini penulis fokuskan kepada produk fiqh yang berkembang di Indonesia. Bentuk formulasi ketetapan hukum di Indonesia apakah perorangan atau bentuk organisasi. Ini dapat kita lihat pada organisasi sosial keagamaan seperti bahsul masail di kalangan NU, keputusan majlis tarjih Muhammadiyah, bahsul masail yang juga dilakukan oleh persis dalam hal ini diwakili oleh A. Hasan.
Istimbat Al-Ahkam di kalangan NU bukan mengambil hukum secara langsung dari sumber aslinya yaitu Al Qur'an dan Al Hadits akan tetapi penggalian hukumnya dengan mentabliqhkan nash-nash yang dikemukakan oleh fuqoha dalam hal ini Syafi'iyah.[11] Selain itu meskipun dalam anggaran dasar NU menyatakan sebagai pengikut madzhab Ahlu Sunnah walljamaah dalam prakteknya cara berfikir tektual masih dominan. Hal ini diungkapkan oleh KH Sahal yang menyimpulkan bahwa metodologi ushul fiqh dan al qowaid fiqiyah dalam bahtsul masail, digunakan sebagai penguat atau keputuasan yang diambil apabila diperlukan tanzir dan untuk mengembangkan wawasan fiqh.[12]
Muhammadfiyah dalam majlis tarjihnya boleh jadi tidak jauh berbeda dengan Nahdlatul Ulama, sesuai dengan istilahnya tarjih adalah memabandingkan pendapat antara yang satu dengan yang lain untuk memilih pendapat mana yang lebih kuat. Hal ini Prof. Amir Syarifudin mengemukakan " Para Ulama yang bergabung dalam organisasi muhammadiyah meskipun pada mulanya mengikuti faham syafi'I seacara baik, tetapi dalam perkembangan selanjutnya berusaha untuk mengkaji kembali permasalahan fiqh dan membahasnya berdasarkan seluruh faham yang ada. Mereka menilai dalil-dalil yang digunakan dalam menghasilkan faham yang berbeda. Kemudian mengambil satu faham yang menurut mereka dalilnya lebih kuat.[13]
Beberapa sumber menyebutkan bahwa kompilasi hkum dengan kekurangan dan kelebihannya dipandang merupakan sebuah konsensus ulama Indonesia. Harus diakui bahwa jangkauan materi kompilasi hukum Indonesia masih terbatas dalam perkawinan, warisan, wakaf, hibah dan shadaqah.
Dalam perkembangan selanjutnya, persoalan-persoalan masyarakat semakin komplek, maka perlu untuk dikembangakan fiqh kontemporer yang mencoba untuk memecahkan masalah-masalah yang belum ada hukum-hukumnya.


BAB III
KESIMPULAN

Dari pembahasan yang telah diuraikan pada bab terdahulu dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1.      Ada dua tahapan yang harus dilakukan oleh umat Islam untuk menjadikan syari'at menjadi pengendali kehidupan, yaitu menggali dan memahami serta mengambil hukum dari Al Qur'an dan Al Hadits serta mencari titik temu antara idialis syari'ah dengan realitas sosial.
2.      Syariat adalah semua peraturan-peraturan yang diturunkan oleh Allah kepada  manusia yang merupakan wahyu dari Allah untuk mengatur perilaku manusia, yang merupakan aspek ontology dari syari'at.
3.      Aspek epistimologi dari syari'at adalah bagaimana atau ilmu apa yang digunakan untuk mengetahui pesan-pesan atau hukum-hukum yang terperinci untuk digunakan sebagai pedoman manusia untuk berperilaku dalam kehidupan secara pribadi, kelompok, bernegara dan semua perilaku yang berhubungan dengan sesama manusia, manusia dengan sang pencipta dan manusia dengan alam.
4.      Aspek aksiologi dari ilmu syari'at adalah produk produk hukum yang dihasilkan oleh para fuqaha untuk dilaksanakan oleh umat Islam, sehingga hukum-hukum Allah itu dapat diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari.


[1] Ahmad Noor, dkk, Epistimologi Syara’ Mencari Format Baru Fiqih Indonesia, Yogyakarta, Wali Songo Press, 2000, hal. 3.
[2]  Mukhlas Hasyim, Konvergensi Ijtihad Kearah Pemahaman dan Perbaikan Realita, artikel diakses dari jurnal oase Online (27 April 1997) Indonesia aindopubs com.
[3]  Ahmad Rafiq, Fiqih Kontekstual dari Normatif ke Pemaknaan Sosial, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004, hal. 5
[4]  Masfuk Zuhdi, Pengantar Hulum Syari'ah Islam, Jakarta, CV. Masagung, 1990, hal. 4
[5]  Khotimah, Khusnul, Penerapan Syari'ah Islam Bercermin pada Sistem Aplikasi Syari'ah jaman Nabi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007, Hal. 18
[6]  Al Syatibi, Al Muwafat Fi Ushul al Syari'at, Bairut, Dar Al Ma'rifat, hal. 64
[7]  Al Syatibi, ibid, hal. 391
[8]  Tim Penulis IAIN Syarif Hidaayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta, Jambatan, hal. 205
[9]  Khotimah, khusnul, 0pcit, hal 51
[10] Ibid, hal 54
[11] Mahfud, Zahal, Nuansa Fiqh Sosial, Yogyakarta, LKIS, 1994, Hal. 26
[12] Ibid, hal. 39
[13] Syarifudin Amir, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam, Padang, Angkasa Raya, 1993, hal. 127

Popular posts from this blog

Macam-Macam Amtsal dan Contohnya

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TANAMAN SAWI

Langkah-Langkah Penggunaan Media Gambar dalam Pembelajaran