TUJUAN METODE KRITIK
A. Tujuan Metode Kritik
Kritik ini penting sekali dalam menguji validitas pengetahuan.
Sejarah filsafat sendiri banyak diwarnai oleh kritik. Para filosof saling
mengkritik dan menggugurkan, tetapi juga menawarkan alternatif pemikiran yang
rasional, meskipun pemikiran rasional yang ditawarkan itu akhirnya digugurkan
oleh pemikiran rasional yang lain. Kita bisa mencatat, bagaimana Demokritos berupaya
membantah Parmanides tentang tidak adanya pluralitas, Socrates menentang pemikiran
Protagoras tentang relativisme kebenaran, Aristoteles menyerang Plato tentang
idea-idea, lmmanuel Khan menentang skeptisisme Hume tentang kebenaran pengetahuan,
para idealis (Fichte, Schelling, dan Hegel) menyangkal konsep Khan tentang ‘das
Ding ansich”, John Stuart Mill membantah Augus Comne tentang mustahilnya
psikologi yang ilmiah, dan Soren Kierkgaard menyerang Hegel tentang idea yang
bersifat umum. Di kalangan filosof Muslim kita menyaksikan, bagaimana Al-Ghazali
menyerang pikiran Ibnu Sina dan kawan-kawan sampai mengkafirkan mereka yang
dimuat dalam kitab Tahafut Al-Falasafah, kemudian Ibnu Rusyd menentang
pandangan Al-Ghazali itu atas nama para filosof yang diruangkan dalam kitab
Tahafut Al-Tahafut, Al-Farabi menentang Ibn Al-Rawandi dan Al-Razi tentang
penolakan terhadap Nabi. Serangan Al-Farabi ini dikenal dengan falsafat
kenabian. Demikian juga Al-Amiri juga menenrang Al-Razi dalam masalah yang sama”
“Sebenarnya, kritik ini adalah metode kita. Kritik tidak hanya
terdapat pada filsafat Islam, terapi juga pada ilmu kalam, fiqh, sejarah Islam
maupun hadits. Bahkan dalam penelitian hadis ditemukan banyak ulama kritikus
hadis”[1].
Mereka menggunakan ilmu Jarh wa al-Ta’dil (ilmu yang mengungkapkan sifat-sifat
cela dan sifat-sifat bersih dari para periwayat yang menyebabkan ditolak atau
diterimanya suatu hadis dari mereka) dalam setiap penelitian hadis. Namun,
sayangnya belakangan ini tradisi kritik itu mengalami kemandekan di kalangan
Muslim, sehingga peradaban mereka mengalami stagnasi’’ Para pemikir Muslim
dewasa ini jarang sekali yang berpijak dari metode kritik ketika mengungkapkan
gagasan-gagasannya, kecuali beberapa orang saja dalam jumlah yang amat terbatas,
seperti Mohammed Arkoun.
“Karya-karya Mohammed Arkoun lebih bernuansa kritik terhadap
bangunan epistemologi keilmuan agama Islam. Titik sentral pemikirannya terletak
pada kata kunci kritik epistemologis”[2].
Pemahaman dan makna kritik epistemologis dalam konsepsinya terasa menukik,
karena kritik epistemologis itu ditujukan pada bangunan keilmuan, ilmu-ilmu
agama secara keseluruhan. Oleh karena itu, Mohammad Arkoun menjadi pemikir
Muslim yang paling cemerlang sekarang ini dan menjadi “nabinya’ kalangan
intlektual Muslim liberal di dunia ini. Dia telah melangkah lebih jauh
dibanding intelektual Muslim lainnya, lantaran kritik-kritik tajamnya.
Pemikiran-pemikirannya langsung diarahkan pada “jantung kehidupan” ilmu
pengetahuan yang menjadi keprihatinan pemikir-pemikir Islam, seperti Ziauddin
Sardar, Ismail Raji Al-Faruqi, dan Syed Mohamnnd Naquib Al-Attas.
Adanya kritik tidak bisa disalahkan, karena tidak ada jaminan
terhadap kepastian kebenaran hasil pemikiran. Apa yang disebut perbaikan dalam
bahasa sehari-hari, pada intinya adalah kritik terhadap sesuatu yang sudah
diakui sebelumnya (establis). Secara sepintas, kritik tampaknya rnenyudutkan,
namun di balik itu sebenarnya terdapat manfaat, sebab kritik mendorong orang
meningkatkan penalaran. Memang substansi kritik sesungguhnya adalah upaya
menyempurnakan melalui bahasa koreksi. Tradisi Barat dalam hal ini harus diakui-
memang terbuka sekali terhadap kritik, sehingga munculnya kritik justru
mendapat apresiasi yang besar sekali terutama di kalangan ilmuwan, sebab kritik
dimaknai sebagai upaya perbaikan. Tampaknya ada persepsi yang berbeda antara
dunia Barat dengan dunia Islam terhadap hakekat kritik.
Dalam konotasi makna perbaikan atau penyempurnaan inilah kritik tersebut
harus senantiasa dikembangkan. Jadi, kritik itu berkonotasi makna upaya
membangun, tidak seperti yang kita pahami selama ini, bahwa kritik itu
bermaksud pelecehan atau penghinaan. Akibatnya, kebanyakan kita umat Islam
sekarang ini merasa alergi terhadap kritik. Sebaliknya, masih banyak kritikus
kita yang belum memenuhi persyaratan. Mereka lebih mengedepankan emosi daripada
konsep, asal kritik (asal bunyi atau asal jeplak). Keduanya justru menjadi
penghambat terhadap tumbuhnya pemikiran orisinal Islam, termasuk pemikiran
pendidikan Islam, dan sikap ini merupakan penyakit. Ada dua macam penyakit dalam
wacana kritik di kalangan kita. Pertama, orang yang dikritik pada umumnya
marah-marah, sedangkan yang kedua, para kritikus banyak yang asal bunyi tanpa
konsep yang jelas dan tanpa disertai alternatif pemecahan.[3]
Dalam kehidupan sehari-hari, tidak banyak orang yang bersedia
dikritik. Terkadang sebagai sikap basa-basi seseorang pemimpin minta dikritik,
tetapi setelah dikritik ternyata dia tersinggung dan marah. Tampaknya
menghadapi kritik dalam persepsinya sama dengan mempertaruhkan seluruh
kehormatannya, sehingga status sosialnya dikhawatirkan mengalami penurunan
(degradasi). Mungkin saja sikap demikian ini terkait dengan materi kritik yang
dilontarkan oleh kritikus. Para pengkritik sendiri kebanyakan tidak profesional
dalam melancarkan kritik. Kritik mereka kasar sekali dan terasa menyengat
karena tidak dikerangkai oleh konsep yang jelas. Dua macam keadaan yang berasal
dan kedua arah inilah yang menyebabkan adanya kritik tanpa hasil sama sekali.
Adanya kritik semacam itu tidak memiliki arti yang signifikan.
Adapun kritik dalam arti sebagai metode untuk
mendapatkan pengetahuan berusaha menghindar keadaan yang tidak kondusif itu.
Justru, “kritik itu terlahir dari proses berpikir secara cermat, jernih dan
mendalam, sehingga ditemukan celah-celah kelemahan dan konsep-konsep, teori-teori,
pemikiran-pemikiran maupun praktek-praktek yang dikritik”[4].
Kemudian kritikus mencoba membangun konsep, teori, maupun pemikiran yang dapat
dijadikan alternatif pemecahan terhadap kelemahan tersebut. Baru sampai di sini
kritik tersebut mampu menghasilkan dua macam pengetahuan; pengerahuan tentang
kelemahan dan objek kritik dan pengetahuan tentang alternatif pemecahan terhadap
kelemahan itu. Bahkan kritik diupayakan mampu menghasilkan
pengetahuan yang lebih banyak lagi. Kritik dapat difungsikan tidak sekadar mendapatkan
pengetahuan tentang kelemahan objek kritik, tetapi juga mampu menjangkau penyebab
atau faktor-faktor timbulnya kelemahan itu, akibat-akibatnya dan sebagainya.
Demikian juga kritik mampu menghasilkan pengetahuan tentang alternatif pemecahan
terhadap suatu kelemahan, sekaligus mampu menjangkau alasan-alasannya
kemungkinan-kemungkinan aplikasinya; implikasi-implikasinya dan lain-lain.
Berdasarkan fungsi dari kritik itu dalam pengembangan pengetahuan,
kita harus segera menyadari perlunya mengembalikan tradisi ilmuwan Islam zaman
dahulu dengan menjadikan kritik sebagai bagian integral dan budaya kita. “Kritik
harus dijadikan tradisi dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari khususnya
dalam lembaga-lembaga atau forum-forum ilmiah”[5].
Forum-forum atau lembaga-lembaga ilmiah dapat menjalankan fungsinya dengan baik
manakala bersedia menekankan tradisi kritik. Konsekuensinya, ilmu pengetahuan
akan berkembang dengan penerapan kritik itu. Sebaliknya, forum-forum atau
lembaga-lembaga ilmiah itu hanya mampu menunjukkan formalitasnya dan tidak pada
substansinya, jika tidak menerapkan kritik. Banyak perguruan tinggi yang tidak
mampu mengemban tugasnya sebagai pusat ilmu pengetahuan, pusat penelitian dan
pusat penemuan karena tidak menerapkan tradisi kritik.
Oleh karena itu kritik ini menjadi sangat berperan dalam mewujudkan
dinamika ilmu pengetahuan. Karl R. Popper menegaskan, bahwa kritik mutlak
diperlukan untuk kemajuan pengetahuan. Kritik merupakan motif utama bagi setiap
perkembangan intelektual. Tanpa kritik tak ada motif rasional untuk mengubah teori-teori
kita. Padahal, kritik bertujuan menemukan kesalahan kita. Sadar terhadap
fallibilitas kita, maka kita mengkritik teori-teori kita sendiri dan
mengujinya, untuk menemukan kesalahan kita dan belajar darinya. Dia menyarankan
supaya kita harus menggeledah kesalahan-kesalahan kita atau kita harus mencoba
mengkritik teori-teori kita. Di sini tampak jelas, bahwa Karl R. Popper jauh lebih
maju dan lebih objekrif dalam melancarkan kritik, daripada pemikir-pemikir
lainnya. jika pemikir-pemikir lain cenderung mengkritik teori, konsep atau
pemikiran orang lain semata, maka Karl R. Popper tidak hanya memiliki
kecenderungan seperti itu, tetapi dia berusaha melangkah lebih jauh dengan
mengkritik teori, konsep maupun pemikirannya sendiri sebagai upaya pengetatan
kritik.
Sikap demikian ini membawa implikasi yang lebih jauh. Dengan kritik
yang ditujukan kepada teori orang lain maupun teori kita sendiri akan dapat
memberikan jaminan terhadap semangat maupun objektivitas dan kritik itu
sendiri. Tetapi, juga memungkinkan terjadinya perubahan secara berkebalikan terhadap
teori-teori yang berasal dari kita sendiri. Maka mungkin terdapat teori yang
dahulu kita sosialisasikan, tetapi sekarang kita tolak sendiri mengingat
setelah dikritik teori tersebut tidak mampu bertahan lagi.
Pengetatan kritik juga terjadi pada objek lainnya. Dalam wacana ilmu
pengetahuan acapkali terjadi polemik tentang pendapat atau teori. Apalagi dalam
wilayah Ilmu pengetahuan sosial, polemik yang tajam sekalipun adalah kebiasaan
yang wajar terjadi. Di samping itu, tidak jarang terjadi kontradiksi pada teori
tertentu. Kontradiksi tidak boleh dibiarkan, kontradiksi harus dicarikan
solusinya agar ada kejelasan atau kepastian. Sebab menerima kontradiksi
menyebabkan kritik berhenti berfungsi, sehingga nnembawa kejatuhan ilmu. Ketika
kritik itu tidak lagi berjalan, maka keberadaan ilmu juga terancam.[6]
Ilmu harus mengalami dinamika sedang perubahan-perubahan atau
pengembangan-pengembangan ilmu itu melalui kritik. Apabila prosesnya berhenti,
maka hasilnya tentu berhenti. Kejadian mi alamiah sekali sebenarnya. Hasil
tidak akan berwujud tanpa proses sehingga ketika prosesnya macet, maka hasilnya
jelas ikut macet.
Sebagai suatu proses, kiranya cukup bisa dimaklumi, jika Karl R.
Popper menekankan pada kritik dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Kritik
mewarnai semua tahapan yang harus ditempuh dalam memformulasikan ilmu. Karl R.
Popper mengaitkan rasionalitas dan objektivitas ilmu, syarat yang membentuk keilmiahan
ilmu pengetahuan dengan sifat kritis: pengkajian kritis, argumentasi kritis,
pendekatan kritis dan tradisi kritis. Semuanya serba kritis, sehingga tidak satu
pun tahapan tersisa yang lepas dari kritik. Karl R. Popper memang dikenal
sebagai filosof yang sangat ketat dan sangat keras dalam kritik. Untuk
membangun teori-teori yang teruji kebenarannya, metode kritik ymg ditawarkannya
bisa dipinjam, tetapi bukan berarti kita mengikuti seluruh hasil pikirannya.
Setidaknya, dia telah mengajarkan model kritik yang jernih, rasional, menukik
dan independen.
B. Prinsip-prinsip Metode Kritik
Prinsip dasar dari metode kritis adalah karena dalam setiap langkahnya (dari kritik
tekstual sampai kritik redaksi), metode ini bekerja dengan bantuan kriteria
ilmiah yang maksudnya adalah agar menjadi seobyektif mungkin.
[1] Imam Bernadib, Filsafat Pendidikan Islam (sitem dan metode),
(Yogjakarta: Yayasan Penerbit FIP IKIP Yogjakarta, 2001), hal. 103.
[2] Ibid., hal. 105.
[3] Muhammad Saghir Hasan, “Ibnu Bajah” dalam Syarif, Para Filosof Muslim, terj., (Bandung:
Mizan, 2000), hal. 45.
[4] Ibid., hal. 47.
[5] Ismail Raji, Islamisasi
Pengetahuan, (Bandung: Mizan, 2000), hal. 78.
[6] Harun Nasution, Filsafat dan
Mistisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hal. 36-37.