Pengertian Pupuk Kompos
“Pengertian pupuk kompos adalah hasil
penguraian parsial/tidak lengkap dari campuran bahan-bahan organik yang dapat
dipercepat secara artifisial oleh populasi berbagai macam mikroba dalam kondisi
lingkungan yang hangat, lembap, dan aerobik atau anaerobic”.(Modifikasi dari
J.H. Crawford, 2003:26). Sedangkan pengomposan
adalah “proses dimana bahan organik mengalami penguraian secara biologis,
khususnya oleh mikroba-mikroba yang memanfaatkan bahan organik sebagai sumber
energi”. (Murbandono, LHS, 2004:14). Jadi, membuat kompos adalah mengatur dan
mengontrol proses alami tersebut agar kompos dapat terbentuk lebih cepat.
Proses ini meliputi membuat campuran bahan yang seimbang, pemberian air yang
cukup, mengaturan aerasi, dan penambahan aktivator pengomposan.
“Kompos sangat
berpotensi untuk dikembangkan mengingat semakin tingginya jumlah sampah organik
yang dibuang ke tempat pembuangan akhir dan menyebabkan terjadinya polusi bau
dan lepasnya gas metana ke udara”. (Rohendi, 2005:15). Kompos adalah jenis
pupuk alami yang terbuat dari bahan organik yang merupakan sisa buangan makhluk
hidup (tanaman dan hewan). Sebagai pupuk alami, keberadaan kompos terutama
sangat dibutuhkan untuk memperbaiki kondisi fisik tanah, di samping untuk
menyuplai unsur hara.
“Pupuk organik
adalah pupuk yang berasal dari sisa-sisa makhluk hidup yang telah mengalami
peruraian (dekomposisi) oleh mikroorganisme pengurai”. (Rohendi, E. 2005:12).
Contohnya pupuk kompos dan pupuk kandang. Pupuk organik memiliki kandungan
unsur hara yang lengkap tetapi umumnya dalam kondisi yang tidak tinggi.
Dapat disimpulkan bahwa pupuk
kompos adalah pupuk yang dibuat dengan cara membusukkan sisa-sisa tanaman.
Pupuk jenis ini berfungsi sebagai pemberi unsur-unsur hara yang berguna untuk
perbaikan struktur tanah. Pupuk kompos merupakan pupuk yang dapat menjaga
ekosistem lingkungan.
2.1 Jenis Pupuk Kompos
Menurut
Toharisman, A (2003:121), pupuk kompos ada beberapa jenis dan memiliki manfaat
yang sangat baik bagi tanaman, antara lain:
- Kompos cacing (vermicompost)
“Kompos cacing
adalah kompos yang terbuat dari bahan organik yang dicerna oleh cacing dan yang
menjadi pupuk adalah kotoran cacing tersebut”. (Toharisman, A (2003:122). “Pupuk
ini dibuat dengan memelihara cacing dalam tumpukan sampah organik hingga cacing tersebut berkembang biak di
dalamnya dan menguraikan sampah organik dan menghasilkan kotoran. Proses ini
dikenal sebagai vermiksisasi”. (Murbandono, 2001:124). Proses pembuatan kompos
jenis ini tidak berbeda dengan pembuatan kompos pada umumnya, yang membedakan
hanya starternya yang berupa cacing.
Kompos cacing
dapat menyuburkan tanaman karena kotoran cacing memiliki bentuk dan struktur
yang mirip dengan tanah
namun ukuran partikel-partikelnya lebih kecil dan lebih kaya akan bahan organik
sehingga memiliki tingkat aerasi yang tinggi dan cocok untuk dijadikan media
tanam. Kompos cacing memiliki kandungan nutrisi yang hampir sama dengan bahan
organik yang diurainya.
Spesies
cacing yang umum digunakan dalam proses ini diantaranya “Eisenia foetida, Eisenia hortensis, dan
Perionyx excavatus,
namun cacing biasa (Lumbricus terestris) juga dapat digunakan”.
(Handayani, Mutia, 2009:46).
“Kompos bagase yaitu
pupuk yang terbuat dari ampas tebu sisa penggilingan tebu di pabrik gula.
Kompos ini terutama ditujukan untuk perkebunan tebu”. (Toharisman, A. 2003:128).
Pabrik gula rata-rata
menghasilkan bagase sekitar 32% bobot tebu yang digiling.
Sebagian besar bagase dimanfaatkan sebagai bahan bakar
boiler,
namun selalu ada sisa bagase yang tidak termanfaatkan yang disebabkan oleh stok
bagase yang melebihi kebutuhan pembakaran oleh boiler pabrik. Sisa
bagase ini pada masa depan diperkirakan akan bertambah seiring meningkatnya
kemajuan teknologi yang mampu meningkatkan efisiensi pabrik pengolahan tebu,
termasuk boiler pabrik.
“Limbah bagase
memiliki kadar bahan organik sekitar 90%, kandungan N
0.3%, P2O5
0.02%, K2O 0.14%, Ca
0.06%, dan Mg
0.04%“. (Toharisman, 2003:129). “Pemberian kompos campuran bagase, blotong, dan
abu boiler pabrik pengolahan tebu dapat meningkatkan ketersediaan hara
N, P, dan K dalam tanah, kadar bahan organik, pH tanah, serta kapasitas menahan
air”. (Ismail, 2001:15). Hasil penelitian Riyanto (2005:26) menunjukkan bahwa “pemberian
kompos bagase 4-6 ton/ha dapat mengurangi penggunaan pupuk NPK hingga 50%”.
“Kompos bokashi adalah sebuah metode pengomposan
yang dapat menggunakan starter aerobik maupun anaerobik untuk mengkomposkan bahan organik,
yang biasanya berupa campuran molasses, air, starter mikroorganisme,
dan sekam padi”. (Murbandono,
LHS, 2004:12). Kompos yang sudah jadi dapat digunakan sebagian untuk proses
pengomposan berikutnya, sehingga proses ini dapat diulang dengan cara yang
lebih efisien. Starter yang digunakan amat bervariasi, dapat diinokulasikan dari material
sederhana seperti kotoran hewan, jamur, spora jamur, cacing, ragi, acar, sake, miso, natto, anggur, bahkan bir, sepanjang material
tersebut mengandung organisme yang mampu melakukan proses pengomposan.
“Dalam proses
pengomposan di tingkat rumah tangga, sampah dapur umumnya
menjadi material yang dikomposkan, bersama dengan starter dan bahan tambahan
yang menjadi pembawa starter seperti sekam padi, sisa gergaji kayu, ataupun
kulit gandum dan batang jagung”.
(Yusuf, 2000:13). Mikroorganisme starter umumnya berupa bakteri asam laktat, ragi, atau bakteri fototrofik yang
bekerja dalam komunitas bakteri, memfermentasikan sampah dapur dan mempercepat
pembusukan materi organik.
Tanaman yang
dipupuk dengan kompos juga cenderung lebih baik kualitasnya daripada tanaman
yang dipupuk dengan pupuk kimia, misal: hasil panen lebih tahan disimpan, lebih
berat, lebih segar, dan lebih enak.
Peran bahan
organik terhadap sifat fisik tanah di antaranya merangsang granulasi,
memperbaiki aerasi tanah, dan meningkatkan kemampuan menahan air. Peran bahan
organik terhadap sifat biologis tanah adalah meningkatkan aktivitas mikroorganisme
yang berperan pada fiksasi nitrogen dan transfer hara tertentu seperti N, P,
dan S. “Peran bahan organik terhadap sifat kimia tanah adalah meningkatkan
kapasitas tukar kation sehingga memengaruhi serapan hara oleh tanaman” (Gaur, 2005:145).
Beberapa studi
telah dilakukan terkait manfaat kompos bagi tanah dan pertumbuhan tanaman.
Penelitian Abdurohim (2008:67), menunjukkan bahwa “kompos memberikan
peningkatan kadar Kalium pada tanah lebih tinggi dari pada kalium yang
disediakan pupuk NPK,
namun kadar fosfor tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dengan NPK”. Hal ini
menyebabkan pertumbuhan tanaman yang ditelitinya ketika itu, caisin (Brassica
oleracea), menjadi lebih baik dibandingkan dengan NPK.
Hasil
penelitian Handayani (2009:69), berdasarkan hasil uji Duncan, “pupuk cacing
(vermicompost) memberikan hasil pertumbuhan yang terbaik pada
pertumbuhan bibit Salam (Eugenia polyantha
Wight) pada media tanam subsoil. Indikatornya terdapat pada diameter
batang, dan sebagainya”. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa penambahan pupuk anorganik tidak
memberikan efek apapun pada pertumbuhan bibit, mengingat media
tanam subsoil merupakan media tanam dengan pH yang rendah sehingga
penyerapan hara tidak optimal. Pemberian kompos akan menambah bahan organik
tanah sehingga meningkatkan kapasitas tukar kation tanah
dan memengaruhi serapan hara oleh tanah, walau tanah dalam keadaan masam.
Dalam sebuah artikel yang diterbitkan Departemen
Agronomi dan Hortikultura, Institut Pertanian Bogor (2005:89)
menyebutkan bahwa “kompos bagase (kompos yang dibuat dari ampas tebu) yang
diaplikasikan pada tanaman tebu (Saccharum officinarum L) meningkatkan
penyerapan nitrogen secara signifikan setelah tiga bulan pengaplikasian
dibandingkan degan yang tanpa kompos, namun tidak ada peningkatan yang berarti
terhadap penyerapan fosfor,
kalium,
dan sulfur”.
Penggunaan kompos bagase dengan pupuk anorganik secara bersamaan tidak
meningkatkan laju pertumbuhan, tinggi, dan diameter dari batang, namun
diperkirakan dapat meningkatkan rendemen gula dalam tebu.