Meunasah Tempat Pendidikan Ajaib
A. Meunasah Sebagai Tempat Pendidikan Agama Bagi Generasi Muda
Meunasah dan mesjid adalah dua hal yang menarik dalam sistem budaya adat Aceh. Kedua lembaga ini merupakan simbol/logo identitas keacehan yang telah berkontribusi fungsinya membangun pola dasar SDM masyarakat menjadi satu kekuatan semangat yang monumental, historis, herois dan sakralis. Fungsi lembaga ini memiliki muatan nilai-nilai aspiratif, energis, Islamis, menjadi sumber inspiratif, semangat masyarakat membangun penegakan keadilan dan kemakmuran serta menentang kedhaliman dan penjajahan.
Adapun fungsi meunasah dalam pembinaan generasi muda dinataranya mencakup dalam segala bidang, yaitu :
- Bidang Pendidikan Agama
Menurut H.M Zainuddi dalam bukunya ”Meunasah merupakan sentral kehidupan aktifitas dan yang berfungsi sebagai tempat pembinaan pendidikan keagamaan”[1]. Tercermin dari kegiatan yang dilakukan masyarakat mengadakan pengajian bagi generasi muda mulai usia dini, remaja dan dewasa. Pengajian yang dilakukan pada sebuah meunasah sudah menjadi hal yang umum. Pengajian adalah suatu peningkatan proses pendidikan agama yang bertujuan untuk mentranformasikan ilmu pengetahuan agama yang dipimpin oleh seorang guru pada muridnya melalui metode-metode tertentu.
Proses pendidikan yang dijalankan di meunasah salah satunya adalah pendidikan bagi remaja. Menurut mahmud Yunus ”remaja adalah kelompok usia dalam pertumbuhan yang justru mudah guncang, yaitu dalam masa panca roba 12 sampai 25 tahun”[2]. Pada usia remaja, manusia sangat rentan dan mudah mengalami dan menerima hal yang buruk baik dari dalam didinya ataupun pengaruh dari luar. Remaja yang memiliki berbagai macam aktivitas keagamaan akan terhindar dari hal-hal yang negatif yang dapat merusak moralitas.
Meunasah sebagai lembaga pendidikan (pengajian) berarti fungsi meunasah yang diampu oleh Teungku Meunasah adalah menyelenggarakan pengajaran (pengajian) pada generasi muda masyarakat gampông (desa) yang berupa membaca kitab- kitab jawoe dan menulis huruf Arab, cara beribadat, menguatkan aqidah tauhid kepada Allah swt.
Aktivitas pendidikan keagamaan di meunasah biasanya di mulai dari anak-anak (laki-laki) datang menjelang shlat ‘ashar/maghrib, kemudian anak-anak beserta warga gampông melaksanakan shalat berjama’ah yang dipimpin imam (Teungku Meunasah), setelah shalat berjama’ah, teungku telah ditunggu anak didik untuk melaksanakan pengajian. Teungku Meunasah kemudian duduk bersila diikuti oleh anak-anak yang duduk melingkar (halaqah) untuk segera memulai pengajian.
Dengan penerangan apa adanya, biasanya di meunasah disediakan lampu kandê (lampu tradional yang terbuat dari tanah liat, ukurannya agak besar) pengajian dilaksanakan dengan khidmat sampai menjelang bedug ‘Isya. Sedangkan perlengkapan pengajian sebagaimana telah dijelaskan di atas, adalah menjadi tanggung jawab si anak melalui orang tuanya, biasanya perlengkapan pengajian dibawa pulang kembali setelah pengajian selesai.
- Bidang sosial budaya
“Meunasah juga berfungsi sebagai tempat pelaksanaan aqad nikah (perkawinan)”[3]. Mendukung pendapat tersebut menurut Abdur. Rahman Gani, meunasah juga berfungsi sebagaimana “Kantor Urusan Agama, yaitu berfungsi sebagai lembaga nikah dan ruju’, hal itu dimungkinkan karena persoalan kesediaan Teungku Meunasah dan persetujuan Keuchik tentang perlunya kelembagaan nikah/ruju’/fasakh di gampông”[4]. Agar tidak perlu lagi ke KUA yang tempatnya lebih jauh, maka dapat memanfaatkan meunasah sebagai sekaligus fungsi lembaga KUA. Jadi meunasah memiliki fungsi yang sangat urgen dalam masyarakat Aceh. Meunasah memiliki multi fungsi dalam masyarakat Aceh.
Menurut Alamsyah meunasah juga difungsikan sebagai “lembaga musyawarah rakyat”[5]. Artinya desa (gampông) dalam struktur masyarakat di Aceh sebagai kedudukan terbawah dan para penghuni gampông pada saat pemerintahan Aceh Darussalam masih jaya dapat memanfaatkan meunasah sebagai lembaga musyawarah, baik dalam forum pengangkatan Keuchik dan jabatan lain maupun musyawarah lainnya, sehingga masyarakat Aceh menempatkan meunasah sebagai badan sentral pengendalian pemerintah gampông.
[1] H.M. Zainuddin, Tarich Atjeh dan Nusantara, Medan: Pustaka Iskandar Muda, 2007., hal. 248
[2] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, 1985, hal. 35
[3] Darwis A. Sulaiman, Kompilasi Adat Aceh – Buku Satu Adat Sekitar Lingkaran Hidup, Laporan Penelitian Yayasan Toyota, 1989, hal. 287
[4] Abdurrahman A. Gani, Pandangan Hidup Rakyat Aceh Adat Bak Poteu Meureuhom Hukum Bak Syiah Kuala…, hal 121
[5] Alamsyah, Pola Pengasuhan Anak Secara Tradisional Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Cet. I, n.p., Yasperindo Selaras, 1993, hal. 8