KEBENARAN ILMIAH
PENDAHULUAN
Ilmu pengetahuan dan teknologi
selalu berkembang dan mengalami kemajuan, sesuai dengan perkembangan zaman dan
perkembangan cara berpikir manusia. Bangsa Indonesia sebagai salah satu negara
berkembang tidak akan bisa maju selama belum memperbaiki kualitas sumber daya
manusia bangsa kita. Kualitas hidup bangsa dapat meningkat jika ditunjang
dengan sistem pendidikan yang mapan. Dengan sistem pendidikan yang mapan,
memungkinkan kita berpikir kritis, kreatif, dan produktif.
Dalam
UUD 1945 disebutkan bahwa negara kita ingin mewujudkan masyarakat yang cerdas.
Untuk mencapai bangsa yang cerdas, harus terbentuk masyarakat belajar.
Masyarakat belajar dapat terbentuk jika memiliki kemampuan dan keterampilan
mendengar dan minat yang besar.
Metode
Ilmiah merupakan suatu cara sistematis yang digunakan oleh para ilmuwan untuk
memecahkan masalah yang dihadapi.Metode ini menggunakan langkah-langkah yang
sistematis, teratur dan terkontrol. Supaya suatu metode yang digunakan dalam penelitian
disebut metode ilmiah
Sedangkan
Kebenaran ilmiah merupakan sesuatu yang krusial dalam kehidupan ini.
Sering kali dengan dalih sebuah kebenaran seseorang, kelompok, lembaga, atau
bahkan negara akan menghalalkan tindakan terhadap orang lain karena
dianggap sudah melakukan tindakan yang benar. Begitu pula dalam bidang
pendidikan tidak mungkin seorang guru melakukan pendidikan,dan pengajaran
terhadap peserta didik jika tidak meyakini sebuah kebenaran.
Sebagaimana ilustrasi yang digambarkan Jujun S.
Suriasumantri, yang menggambarkan seorang peserta didik yang mogok tidak mau
belajar walaupun orang tuanya sudah merayunya, memberikan iming-iming
hadiah, bahkan hukuman fisik agar anaknya mau belajar matematika. Ketika
ditelusuri alasan anak tersebut mogok belajar karena seorang guru
matematika di sekolahnya dianggap sebagai pembohong. Pada suatu hari guru
tersebut mengatakan bahwa 3+ 4 = 7, pada hari berikutnya 5+2 = 7,
kemudian pada hari lainnya 6+1 =7 dan seterusnya. Menurut pemikiran anak
tersebut dengan keterbatasan pikirannya, guru matematika yang mengajarnya
tidak konsisten dengan apa yang dikatakan sebelumnya, sehingga dianggap sebagai
pembohong.
Ilustrasi
tersebut jika diuji materil kebenaran dengan pendekatan matematika semua yang
disampaikan guru matematika tersebut benar, akan tetapi keterbatasan seorang
peserta didik menganggap itu salah. Sehingga menimbulkan dampak-dampak
negatif maupun positif dalam kehidupan. Oleh karena itu bagaimana
sesuatu dianggap benar, dan apa yang menjadi kriteria kebenarannya. Kebenaran
tidak mungkin berdiri sendiri jika tidak ditopang dengan dasar-dasar
penunjangnya, baik pernyataan, teori, keterkaitan, konsistensi, keterukuran ,
dapat dibuktikan, berfungsi, dan bersifat netral atau tidak netral. Untuk
mencapai sebuah kebenaran ada beberapa tahapan yang harus dilalui, baik itu
rasional, hipotesa, kausalitas, anggapan sementara, teori, atau sudah
menjadi hukum kebenaran. Tahapan untuk mendapat kebenaran tersebut dapat
dilihat dengan menggunakan alat kajian filsafat, baik filsafafat Yunani,
filsafat Barat, ataupun filsafat Islam.
PEMBAHASAN
1. Pengertian Kebenaran
Kebenaran
tertuang dalam ungkapan-ungkapan yang dianggap benar, misalnya hukum-hukum,
teori-teori, ataupun rumus-rumus filasafat, juga kenyataan yang dikenal
dan diungkapkan. Mereka muncul dan berkembang maju sampai pada taraf kesadaran
dalam diri pengenal dan masyarakat pengenal.[1]
Sebelum
mencapai kebenaran yang berupa pernyataan dengan pendekatan teori ilmiah
sebagaiamana kerangka ilmiah, akan lebih baik jika kita mengetahui
terlebih dahulu pengetauan ini bersifat logis, rasional tidak. Sebagaimana
diungkap Ahmad Tafsir dalam kerangka berfikir sebagai berikut:
a. Yang logis ialah
yang masuk akal
b. Yang logis itu mencakup
yang rasional dan supra-rasional
c. Yang rasional ialah yang
masuk akal dan sesuai dengan hukum alam
d. Yang supra-rasional
ialah yang masuk akal sekalipun tidak sesuai dengan hukum alam.
Beberapa
definisi kebenaran dapat kita kaji bersama dari beberapa sumber, antara lain,
Kamus umum Bahasa Indonesia ( oleh Purwadarminta), arti kebenaran yaitu:
1. Keadaan yang benar ( cocok dengan hal atau
keadaan sesungguhnya), 2. Sesuatu yang benar ( sunguh-sungguh ada, betul
demikian halnya), 3. Kejujuran, ketulusan hati, 4. Selalu izin,perkenan, 5.
Jalan kebetulan.[3]
Imam
Wahyudi, seorang dosen Filsafat Pengetahuan dan filsafat Ilmu UGM, kebenaran
dikelompokkan dalam tiga makna, yaitu kebenaran moral, kebenaran logis dan
kebenaran metafisik. Kebenaran moral menjadi bahasan etika, ia menunjukkan
hubungan antara yang kita nyatakan dengan apa yang kita rasakan. Kebenaran
logis menjadi bahasan epistemology, logika dan psikologi, ia merupakan hubungan
antara pernyataan dengan realitas objektif. Sedangkan kebenaran metafisik
berkaitan dengan yang ada sejauh berhadapan dengan akal budi, karena yang ada
mengungkapkan diri kepada akal budi. Yang ada merupakan dasar dari kebenaran,
dan akal budi yang menyatakannya.[4]
Menurut
teori kebenaran metafisik/ontologis, kebenaran adalah kualitas individual atas
objek, ia merupakan kualitas primer yang mendasari realitas dan bersifat
objektif, ia didapat dari sesuatu itu sendiri. Kita memperolehnya melalui
intensionalitas, tidak diperoleh dari relasi antara sesuatu dengan sesuatu,
misal kesesuaian antara pernyataan dengan fakta. Dengan demikian kebenaran
metafisis menjadi dasar kebenaran epistemologis, pernyataan disebut benar kalau
memang yang mau dinyatakan itu sungguh ada.
Sedangkan
menurut Noeng Muhajir, eksistensi kebenaran dalam aliran filsafat yang satu
berbeda dengan aliran filasafat lainnya. Positivisme hanya mengakui kebenaran
yang dapat ditangkap secara langsung atau tak langsung lewat indra. Idealisme
hanya mengakui kebenaran dunia ide, materi itu hanyalah bayangan dari dunia
ide. Sedangkan Islam berangkat dari eksistensi kebenaran bersumber dari Allah
Swt. Wahyu merupakan eksistensi kebenaran yang mutlak benar. Eksisitensi wahyu
merupakan kebenaran mutlak, epistemologinya yang perlu dibenahi, juga model
logika pembuktian kebenarannya. Model logika yang dikembangkan di dunia
Islam adalah logika formal Aristoteles dengan mengganti pembuktian kebenaran
formal dengan pembuktian materil atau substansial, dan pembuktian kategorik
dengan pembuktian probabilitas.[5]
Lebih
jauh Noeng Muhajir menawarkan epistemology berangkat dari dua postulat,
pertama semua yang gaib ( Zat Allah, alam barzah, surga dan neraka) itu urusan
Allah, bukan kawasan ilmu, sedangkan alam semesta dengan beribu galaxy yang
terbentang di muka kita adalah kawasan ilmu yang dapat kita rambah. Kedua
manusia itu makhluk lemah dibanding kebijakan Allah, sehingga kebenaran mutlak
dari Allah tidak tertangkap oleh manusia.[6]
Pandangan
Ibnu Rushd yang menyatakan bahwa jalan filsafat merupakan jalan terbaik untuk
mencapai kebenaran sejati dibanding jalan yang ditempuh oleh ahli agama, telah
memancing kemarahan pemuka agama, sehingga mereka meminta kepada khalifah yang
memerintah di Spanyol untuk menyatakan Ibnu Rushd sebagai atheis. Sebenarnya
apa yang dikemukakan oleh Ibnu Rushd sudah dikemukakan pula oleh Al Kindi dalam
bukunya Falsafah El Ula (First Philosophy). Al Kindi
menyatakan bahwa kaum fakih tidak dapat menjelaskan kebenaran dengan sempurna,
oleh karena pengetahuan mereka yang tipis dan kurang bernilai (Haeruddin,
2003).[7]
Dengan
menggunakan berbagai pendekatan kebenaran dalam mendapatkan pengetahuan, maka
dibutuhkan berbagai kriteria kebenaran yang disepakati secara konsensus, baik
dengan cara mengadakan penelitian atau mengadakan perenungan. Dalam pendekatan
ini dibedakan menjadi dua pendekatan kebenaran, yaitu kebenaran ilmiah dan
kebenaran non ilmiah. Kebenaran ilmiah akan dijelaskan secara rinci dalam
makalah ini. Sedangkan kebenaran non ilmiah juga ada di masyarakat, akan tetapi
sulit untuk dapat dipertanggungjawabkan secara kajian ilmiah. Kebenaran non
ilmiah antara lain:
· Kebenaran
karena kebetulan : kebenaran yang didapat dari kebetulan dan tidak ditemukan
secara ilmiah, tidak dapat diandalkan karena terkadang kita tertipu dengan
kebetulan yang tidak bisa dibuktikan. Misalnya radio tidak ada suaranya,
dipukul, kemudian bunyi.
· Kebenaran
karena akal sehat ( common sense): Akal sehat adalah serangkaian konsep yang
dipercaya dapat memecahkan masalah secara praktis. Contoh kepercayaan bahwa
hukuman fisik merupakan alat utama untuk pendidikan adalah termasuk kebenaran
akal sehat. Akan tetapi penelitian psikologi membuktikan hal tersebut tidak
benar, bahkan lebih membahayakan masa depan peserta didik.
· Kebenaran
intuitif: kebenaran yang didapat dari proses luar sadar tanpa menggunakan
penalaran dan proses berpikir. Kebenaran intuitif sukar dipercaya dan tidak
bisa dibuktikan, hanya sering dimiliki oleh orang yang berpengalaman lama dan
mendarah daging di suatu bidang.
· Kebenaran
karena trial dan error: kebenaran yang diperoleh karena mengulang-ulang
pekerjaan, baik metode, teknik, materi, dan parameter-parameter sampai akhirnya
menemukan sesuatu. Hal ini membutuhkan waktu lama dan biaya tinggi.
· Kebenaran
spekulasi : kebenaran karena adanya pertimbangan meskipun kurang dipikirkan
secara matang, dikerjakan penuh risiko, relative lebih cepat dan biaya lebih
rendah.
· Kebenaran
karena kewibawaan : kebenaran yang diterima karena pengaruh kewibawaan
seseorang, bisa sebagai ilmuwan, pakar, atau orang yang memiliki otoritas dalam
suatu bidang tertentu. Kebenaran yang keluar darinya diterima begitu saja tanpa
perlu diuji. Kebenaran ini bisa benar bisa salah karena tanpa prosedur
ilmiah.
· Kebenaran
agama dan wahyu : kebenaran mutlak dan asasi dari Allah dan rasulnya. Beberapa
hal masih bisa dinalar dengan panca indra manusia, tetapi sebagian yang lain
tidak. Manusia memiliki keterbatasan dalam menangkap kebenaran dari Allah
sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Al-Qur`an sebagai wahyu Allah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw diyakini kebenarannya bagi kaum muslimin,
tetapi tidak diyakini kebenaran bagi yang non muslim. Begitu juga kebenaran
pada kitab yang lainnya.[8]
Dengan
mengetahui kebenaran berdasarkan pendekatan non-ilmiah paling tidak kita dapat
membedakan segala kebenaran yang berada di masyarakat tersebut tidak teruji
secara ilmiah, sehingga sulit untuk dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Nah sekarang bagaimana kebenaran ditinjau dari pendekatan ilmiah.
2. Kriteria Kebenaran Ilmiah
Kriteria
kebenaran sebagai dasar pengetahuan yang akan dibahas dalam makalah ini, adalah
kriteria kebenaran ilmiah dengan menggunakan beberapa patokan dan pijakan yang
dibuat para ahli sebelumnya. Kriteria kebenaran ini juga tidak terlepas dari
sejarah dan patokan apa yang dipakainya. Hal ini tidak terlepas dari sifat
kajian ilmiah, jika ada penemuan terbaru dalam bidang dan hal yang sama
dapat menggantikan penemuan sebelumnya. Dan ini juga tidak terlepas dari
filsafat manusia yang menghasilkan pada saat itu.
Menurut
Roger yang dikutif Imam wahyudi, benar yang dipergunakan dalam ilmu, agama, spiritualitas,
estetika adalah sama namun semuanya tidak dapat diukur dengan standar yang sama
(incommensurable), tidak ada satupun yang benar-benar menunjuk pada klaim
bahwa suatu penyataan adalah benar dalam suatu makna kata, namun salah pada
makna lainnya. Misal kata ilmu penciptaan sebagai pemiliki kebenaran menjadi
bermakna keteraturan ( kosmos) diterima sebagai ilmiah , namun tujuannya tidak
ilmiah dan dua jenis kebenaran tersebut tidak sama.[9]
Kebenaran
ilmiah muncul dari hasil penelitian ilmiah, artinya suatu kebenaran tidak
mungkin muncul tanpa adanya tahapan-tahapan yang harus dilalui untuk memperoleh
pengetahuan ilmiah.
Sebagai
gambaran perhatikan tahapan dalam penelitian untuk mendapatkan kebenaran
adalah penelitian, kebenaran, ilmu pengetahuan, proses, dan hasil
Secara
metafisis kebenaran ilmu bertumpu pada objek ilmu, melalui penelitian dengan
dukungan metode serta sarana penelitian, maka diperoleh suatu pengetahuan.
Semua objek ilmu benar dalam dirinya sendiri, karena tidak ada yang kontradiksi
di dalamnya. Kebenaran dan kesalahan timbul tergantung pada kemampuan
menteorikan fakta.
Bangunan
suatu pengetahuan secara epistemology bertumpu pada asumsi metafisis tertentu,
dari metafisis ini menuntut suatu cara atau metode yang sesuai untuk mengetahui
objek. Dengan kata lain metode yang dikembangkan merupakan konsekuensi logis
dari watak objek. Maka secara epistemology kebenaran merupakan kesesuaian
antara apa yang diklaim sebagai diketahui dengan kenyataan yang sebenarnya yang
menjadi objek pengetahuan. Kebenaran terletak pada kesesuaian antara subjek dan
objek yaitu apa yang diketahui subjek dan realitas sebagaimana adanya. [10]
Sebelum
membicarakan kriteria kebenaran secara ilmiah, alangkah baiknya kita
melihat pada saat berkomunikasi, seseorang harus menyusun atau merangkai
kata-kata yang dimilikinya menjadi suatu kalimat yang memiliki arti. Contoh
kalimat yang tidak memiliki arti adalah: “5 mencintai 7.” Secara umum
dapat dinyatakan bahwa kalimat adalah susunan kata-kata yang memiliki arti yang
dapat berupa:
_ Pertanyataan,
dengan contoh: “Pintu itu tertutup”,
_
Pertanyaan, dengan contoh: “Apakah pintu itu tertutup?”,
_
Perintah, dengan contoh: “Tutup pintu itu!”, ataupun
_
Permintaan, dengan contoh: “Tolong pintunya ditutup.”
Dari
empat macam kalimat tersebut, hanya pernyataan saja yang memiliki nilai benar
atau salah, tetapi tidak sekaligus benar atau salah. Meskipun para
ilmuwan, matematikawan, ataupun ahli-ahli lainnya sering menggunakan
beberapa macam kalimat tersebut dalam kehidupan sehari-hari mereka, namun hanya
pernyataan saja yang menjadi perhatian mereka dalam mengembangkan ilmunya.
Alasannya, kebenaran suatu teori ataupun pendapat yang dikemukakan setiap
ilmuwan, matematikawan, maupun para ahli lainnya seperti ulama sebagai ahli agama
merupakan suatu hal yang akan sangat menentukan reputasi mereka. Karenanya,
setiap ilmuwan, matematikawan, ataupun ahli-ahli lainnya akan berusaha untuk
menghasilkan suatu pernyataan atau teori yang benar. Suatu pernyataan (termasuk
teori) tidak akan ada artinya jika tidak bernilai benar. Karenanya, pembicaraan
mengenai benar tidaknya suatu kalimat yang memuat suatu teori telah menjadi
pembicaraan dan perdebatan para ahli filsafat dan logika sejak dahulu
kala. Beberapa nama menurut Yuyun S Suriasumantri yang patut
diperhitungkan karena telah berjasa untuk kita adalah Plato (427 – 347 SM),
Aristoteles (384 − 322 SM), Charles S Peirce (1839 − 1914), dan Bertrand
Russell (1872 − 1970).[11] Paparan berikut akan
membicarakan tentang kebenaran, dalam arti, bilamana suatu pernyataan yang
dimuat di dalam suatu kalimat disebut benar dan bilamana disebut salah.
Kriteria
kebenaran menurut Jujun S. Suriasumantri menggunakan dua teori kebenaran yaitu
terori koherensi dan teori korespondensi. Teori koherensi adalah
suatu teori yang menyimpulkan suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan
tersebut bersifat kehoren atau konsisten dengan pernyataan sebelumnya yang
dianggap benar. Bila kita mengganggap bahwa semua manusia pasti akan mati
adalah suatu pernyataan yang benar, maka penyataan bahwa si pulan adalah
seorang manusia dan si pulan pasti akan mati adalah benar pula, karena
pernyataan kedua adalah konsisten dengan pernyataan pertama. Teori lainnya
adalah teori korespondensi dengan tokohnya Bertrand Russel (1872-1970 ),
pernyataan dianggap benar jika materi yang dikandung pernyataan itu
berkorespondensi ( berhubungan ) dengan objek yang dituju oleh pernyataan
tersebut. Misalnya Jika “ Ibu kota Republik Indonesia adalah Jakarta”
merupakan pernyataan yang benar sebab pernyataan tersebut faktual yaitu Jakarta
sebagai ibu kota Republik Indonesia. Dan sekiranya ada orang yang
menyatakan “ Ibu kota Republik Indonesia adalah Bandung , maka pernyataan
tersebut tidak benar.[12]
Teori
korespondensi ini menurut Abbas merupakan teori kebenaran yang paling
awal, sehingga dapat digolongkan kepada teori kebenaran tradisional, karena
Aristoteles sejak awal ( sebelum abad modern ) mensyaratkan kebenaran
pengetahuan harus sesuai dengan kenyataan yang diketahuinya.[13]
Akan
tetapi teori korespondensi ini bukan juga termasuk teori yang
sempurna tanpa kelemahan, karena dengan mensyarakatkan kebenaran harus sesuai
dengan kenyataan, maka dibutuhkan penginderaan yang akurat, nah bagaimana
dengan penginderan yang kurang cermat atau bahkan indra tidak normal lagi?
Disamping itu juga bagaimana dengan objek yang tidak dapat diindra atau non
empiris? Maka dengan teori korespondensi objek non empiris tidak dapat dikaji
kebenarannya.
Bagaimana
dengan teori kebenaran koherensi ? Teori kebenaran koherensi yang
berpandangan bahwa pernyataan dikatakan benar bila terdapat kesesuaian antara
pernyataan yang satu dengan pernyataan terdahulu atau lainnya dalam suatu
system pengetahaun yang dianggap benar. Sebab sesuatu adalah anggota dari suatu
system yang unsur-unsurnya berhubungan secara logis. Maka teori kebenaran
ini termasuk teori kebenaran tradisional menurut Imam wahyudi.[14] Kelemahan dari teori
koherensi ini terjebak dalam validitas, di mana teorinya dijaga agar selalu
ada koherensi internal. Suatu pernyataan dapat benar dalam dirinya
sendiri, namun ada kemungkinan salah jika dihubungkan dengan pernyataan lain di
luar sistemnya. Hal ini dapat mengarah kepada relativisme kebenaran.
Kedua
teori inilah yaitu teori koherensi dan korespondensi yang
dipergunakan dalam cara berfikir ilmiah untuk mendapat kebenaran ilmiah.
Penalaran teoritis yang berdasarkan logika deduktif jelas mempergunakan teori
koherensi ini. Sedangkan proses pembuktian secara empiris dalam bentuk
pengumpulan fakta-fakta yang mendukung suatu pernyataan tertentu menggunakan
teori kebenaran yang lain yaitu kebenaran pragmatis.
Teori
pragmatis menurut Jujun S. Suriasumantri bukan merupakan aliran filsafat yang
mempunyai doktrin-doktrin filsafati melainkan teori dalam penentuan
kebenaran. Dimana kebenaran suatu pernyataan diukur dengan apakah
pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Artinya suatu
penyataan adalah benar , jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan
itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia.[15]
Kriteria
kebenaran pragmatisme ini dipergunakan para ilmuwan dalam menentukan
kebenaran ilmiah dalam persepekstif waktu. Secara historis pernyataan yang
sekarang dianggap benar suatu waktu mungkin tidak lagi demikian. Dihadapkan
dengan permasalahan ini maka ilmuwan bersifat pragmatis, selama pernyataan itu
fungsional dan mempunyai kegunaan maka pernyataan itu dianggap benar, dan
sekiranya pernyataan itu tidak lagi bersifat demikian disebabkan perkembangan
ilmu pengetahuan itu sendiri yang menghasilkan pernyataan baru, maka
pernyataan itu ditinggalkan.
Menurut
Rohmat Mulyana, Tidak dapat dipungkiri bahwa metode ilmiah ( scientific
methods) merupakan cara yang handal untuk menemukan kebenaran ilmiah. Tingkat
kebenarannya yang logis empiris membuat metode ilmiah mengembangkan ilmu
pengetahuan yang semakian lama semakin maju. Bukti dari kemajuan ilmu adalah
banyaknya teori baru yang semakin canggihnya teknologi. Akan tetapi semakin
berkembangnya ilmu alam dan ilmu sosial serta ilmu-ilmu lainnya, tidak
jarang melahirkan spesialisasi yang berlebihan. Sebagai missal, Biologi
berkepentingan untuk meneliti manusia sebagai suatu organisma, bukan sebagai
makhluk yang berbudaya, begitu pula ilmu Ekonomi berkepentingan dengan
peningkatan kesejehateraan manusia, bukan pada peran manusia sebagai makhluk
yang memiliki perasaan keagamaan. Dengan keterbatasan seperti itu membuat ilmu
pengetahuan tidak dapat merangkum seluruh pengalaman, pengetahuan,
cita-cita , keindahan dan kasih sayang yang terdapat dapat diri manusia. Hal
ini menjelaskan bahwa tidak semua urusan manusia dapat dipecahkan melalui
pendekatan ilmiah, melainkan harus dibantu oleh filsafat dan agama yang dapat
menjangkau kebenaran pada wilayah yang logis dan supra logis.[16]
Pendekatan
kebenaran ilmiah melalaui penelitian ilmiah dan dibangu atas teori tertentu. Teori
itu berkembang melalui penelitian ilmiah, yaitu penelitian yang sistematik dan
terkontrol berdasarkan atas data empiris. Teori itu dapat dites ( diuji) dalam
hal keajegan dan kemantapan internalnya. Artinya jika jika penelitian
ulang orang lain menurut langkah-langkah sama akan yang serupa pada
kondisi yang sama akan memperoleh hasil yang ajeg ( consisten) atau koheren
dengan sebelumnya. Pendekatan ilmiah ini menurut Sumardi Suryabrata, akan
menghasilkan kesimpulan yang serupa bagi hampir setiap orang, karena
pendekatan yang digunakan tidak diwarnai oleh keyakinan pribadi, bias, dan
perasaan, penyimpulan bersifat objektif bukan subyektif. Atau kebenaran ilmiah
terbuka untuk diuji oleh siapapun yang menghendaki untuk mengujinya.[17]
Pendekatan
pada kebenaran dalam ilmu alam adalah pendekatan terhadap sesuatu di luar
pengenal, oleh karena itu memungkinkan dicapainya “keadaan yang sebenarnya”
dari objek pengetahuan walaupun tetap memungkinkan adanya pengaruh dari
pengenal. Objektivitas dalam ilmu-ilmu sosial sulit dicapai karena
adanya hubungan timbal balik yang terus-menerus antara subjek pengenal dan
objek yang dikenal.
Kebenaran
ilmiah pada akhirnya tidak bisa dibuat dalam suatu standard yang berlaku bagi
semua jenis ilmu secara paksa, hal ini terjadi karena adanya banyak jenis dalam
pengetahuan. Walaupun ilmu bervariasi disebabkan karena beragamnya objek
dan metode, namun ia secara umum bertujuan mencapai kebenaran yang objektif,
dihasilkan melalui konsensus. Kebenaran ilmu yang demikian tetap mempunyai
sifat probabel, tentatif, evolutif, bahkan relatif, dan tidak pernah mencapai
kesempurnaan, hal ini terjadi karena ilmu diusahakan oleh manusia dan komunitas
sosialnya yang selalu berkembang kemampuan akal budinya.
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian bahasan “Makalah Metode Ilmiah dan kebenaran
Ilmiah” dapat disimpulkan bahwa :
- Metode Ilmiah merupakan suatu cara sistematis yang digunakan oleh para ilmuwan untuk memecahkan masalah yang dihadapi.Metode ini menggunakan langkah-langkah yang sistematis, teratur dan terkontrol. Supaya suatu metode yang digunakan dalam penelitian disebut metode ilmiahesuai dengan tujuan dan fungsinyA.
- Penelitian yang dilakukan dengan metode ilmiah disebut penelitian ilmiah. Suatu penelitian harus memenuhi beberapa karakteristik untuk dapat dikatakan sebagai penelitian ilmiah.
- Sedangkan kebenaran Ilmiah adalah kebenaran yang bersifat mutlak dengan pembuktian dengan melalui beberapa tahapan atau proses menuju pencapaian kebenaran tersebut.
[1]
ibid
[2]
Frof. Dr. Ahmad Tafsir, Filsafat
Ilmu,Bandung, Remaja Rosdakarya,2009, cet-4, h. 17
[3]
Purwadarminta,Kamus Umum Bahasa Indonesia
[4]
Imam Wahyudi, Refleksi Tentang
Kebenaran Ilmu dalam Jurnal Filsafat, Desember 2004, Jilid 38, Nomor
3
[5]
Noeng Muhajir, Ilmu Pendidikan Islam (
Filsafat dan Paradigma ), dalam buku Epistemologi untuk Ilmu
Pendidikan Islam, Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Gunung Jati Bandung, 1995. h.22
[6]
Ibid.h. 22
[7]
ibid
[8]
Ibid
[9]
Imam Wahyudi, Refleksi tentang Kebenaran ilmu
: Jurnal Filsafat, h. 257
[10]
Sonny Keraf dan Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan:
Sebuah Tinjauan Epistemologis, Kanisiusn Jakarta, 2002, h. 66
[11]
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu sebuah
pengantar popular,Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, cet ke-22. H. 57.
[12]
Ibid
[13]
H.M. Abbas, “Kebenaran Ilmiah” dalam:
Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Intan Pariwara, Yogyakarta, 1997. H. 87
[14]
Imam Wahyudi, Op.Cit. h. 256
[15]
Ibid. h. 59
[16]
Rohmat Mulyana, Mengartikulasikan
Pendidikan Nilai, Bandung, Alfabeta, 2004, cet-2.,h.74
[17]
Sumardi Suryabrata, Metodologi
Penelitian, Jakarta, Raja Grafindo Persada,1983, h. 6.