HUKUM SHALAT BERJAMAAH
Hukum mengerjakan shalat tunai
yang bukan shalat Qadha secara berjamaah adalah sunat muakkad, artinya sangat
dianjurkan pada sembahyang maktubah (farzhu). Sedangkan sembahyang sunat
muakkad seperti shalat aid, shalat istisqa hukumnya adalah hanya sunat saja. Sedangkan
mengerjakan shalat jum’at secara berjamaah hukumnya adalah wajib. Mengerjakan
shalat yang diwajibkan karena hajat atau mengerjakan shalat sunat biasa secara
berjamaah hukumnya adalah boleh (tidak disunatkan dan tidak dimakruhkan).
Jadi shalat berjamaah menjadi
sunat muakkad pada sembahyang fardhu yang dilaksankan secara tunai bukan
sembahyang qadha. Akan tetapi jikalau antara imam dan makmum melaksanakan shalat
qadha secara bersamaan maka disunatkan pula akan berjamaah dengan syarat imam
dan makmum melaksanakan shalat qadha yang difardhukan dengan rakaat yang sama
pula. Maka jikalau shalat imam dan shalat makmum tidak sama, seperti: imam
melaksanakan shalat qadha, sedangkan makmum melaksanakan shalat tunai, imam
melaksanakan shalat sunat sedangkan makmum melaksanakan shalat fardhu, imam
melaksanakan shalat tarawih sedangkan makmum melaksanakan shalat witir, maka
tidak ada sunat dalam melaksanakannya secara berjamaah dan tidak pula
dimakruhkan melaksanakannya. Jadi shalat yang dilakukan oleh imam dan makmum
pada masalah tersebut secara berjamaah hukumnya dibolehkan.
Imam Nawawi berpendapat bahwa
hukum shalat fardhu secara berjamaah bagi laki-laki yang baligh, merdeka, dan
bermukim pada suatu tempat dalam sembahyang tunai saja adalah fardhu kifayah
dengan ukuran nampak syiar Islam pada tempat mukimnya. Mazhab Imam Ahmad
berpendapat bahwa hukum shalat fardhu secara berjamaah bagi laki-laki yang
baligh, merdeka, dan bermukim pada suatu tempat dalam melaksanakan sembahyang
tunai adalah fardhu ain. Dan ada pendapat lainya yang memberikan pendapat bahwa
hukum shalat fardhu secara berjamaah bagi laki-laki yang baligh, merdeka, dan
bermukim pada sembahyang tunai merupakan syarat sah sembahyang. Akan tetapi
yang lebih kuat dari ketiga pendapat tersebut adalah pendapat imam Nawawi.
Hokum shalat berjamaah bagi
perempuan adalah dibolehkan selama tidak melahirkan fitnah bagi perempuan dan
mereka akan memperoleh kelebihan dan pahala shalat berjamaah seperti laki-laki.
Mengerjakan shalat jamaah di masjid adalah lebih afdhal bergitu juga bagi
wanita selama aman dari fitnah dan gangguan.
Azra’I dan ulama lainnya
berpendapat bahwa sembahyang berjamaah bagi laki-laki di mesjid terlebih afzal
(sempurna) daripada di tempat lain dengan syarat ditempat lain lebih sedikit
peserta jamaahnya. Walaupun demikian apabila jamaah di rumah lebih banyak
peserta jamaahnya dan peserta jamaah di mesjid lebih sedikit jamaahnya maka
shalat jamaah di rumah juga lebih afzal (sempurna) dari pada shalat berjamaah
di mesjid yang peserta jamaahnya lebih sedikit.
Sedangkan syaikhuna dengan
pendapatnya yang kuat mengatakan sembahyang secara berjamaah di mesjid lebih
afzal walaupun peserta jamaahnya sedikit dibandingkan peserta jamaah. Alasan
syaikhuna adalah jikalau berlawanan antara fadhilat shalat di dalam mesjid dan
di luar mesjid maka didahulukan yang lebih baik dari keduanya, karena fadhilat
yang berkaitan dengan zat ibadat lebih baik daripada fadhilat yang berkaitan
dengan tempat ibadah dan waktu ibadahnya dan juga fadhilat yang berkaitan
dengan waktu ibadat lebih baik daripada yang berkaitan dengan fadhilat
tempatnya. Contohnya: apabila seorang muslim shalat sendiri penuh dengan
khusyuk dan apabila muslim tersebut tidak khusyuk shalat secara berjamaah maka
lebih afzal dia shalat secara berjamaah karena khusyuk merupakan fadhilat yang
berkaitan dengan zat ibadat. Contoh lainnya adalah seorang muslim tidak khusyuk
sembahyang secara berjamaah dan tidak berjamaah, maka muslim tersebut lebih
baik melaksanakan shalat secara berjamaah.
Dan disunatkan bagi orang yang melaksanakan shalat
tunai secara tidak berjamah untuk iadah (sembahyang lagi) dengan jamaah lainnya
dengan syarat masih dalam waktu sembahyang tertentu dan tidak lebih dari satu
kali iadah.