PROBLEM OTORITAS DIDALAM MENGARTIKAN FIQH
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Pada dasarnya
kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan oleh hukum. Islam merupakan agama yang
sangat universal dalam mensejahterakan kehidupan umatnya. Maka allah menurunkan
wahyu melalui jibril yang selanjutnya disampaikan kepada nabi Muhammad untuk
diaplikasikan dalam kehidupan umatnya. Islam merupakan agama yang mengatur tata
cara hidup sebuah masyarakat yang madani. Islam bukan agama yang sempit yang
tidak memberikan ruang gerak bagi umatnya untuk mengatur kehidupan di dunia
ini.
Maka dalam
menjalankan hidup di dunia ini diperlukan aturan-aturan yang dapat
mensejahterakan umat manusia. Hukum
tersebut dinamakan dengan hukum islam. Hukum islam juga harus dipahami dengan
baik agar pranata kehidupan dapat diatur dengan baik. Dalam hal ini terdapat
dua dimensi dalam memahami hukum islam. Yang pertama, hukum islam berdimensi
ilahiyyah, karena ia diyakini sebagai ajaran suci yang bersumber dari Allah
swt. Sakralitasnya selalu dijaga. Hukum islam sangat luas cakupannya meliputi
bidang keyakinan, amaliyah, dan akhlak.
Kedua, hukum
islam berdimensi insaniyyah, Dalam dimensi ini, hukum islam merupakan upaya
bersungguh-sungguh untuk memahami ajaran yang dinilai suci yang dilakukan
dengan menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan kebahasaan dan pendekatan
maqashid. Dalam hal ini, hukum islam dipandang sebagai produk pemikiran yang
dilakukan dengan berbagai pendekatan yang dikenal dengan sebutan ijtihad atau
pada tingkat yang lebih teknis disebut istinbath al-ahkam.
Hukum islam
dalam demensi kedua, dalam sejarah hukum islam melahirkan berbagai istilah,
diantaranya fiqh, fatwa, dan qadla. Dan dalam proses penetapan hukum inilah
terjadinya problem otoritas dalam masalah yang berkaitan dengan hukum fiqh.
Oleh sebab itu penulis tertarik untuk menulis masalah problem otoritas di dalam
dunia fiqh.
Dalam hal ini pemikiran islam sangat dibutuhkan
dalam mensejahterakan umatnya agar tidak tergonjang ganjing dalam kehidupannya.
Dan apakah setiap muslim memiliki otoritas dalam mencari solusi dalam
kehidupannya khususnya dalam hal fiqh. Maka dalam hal ini penulis tertarik
mengangkat suatu masalah yang berhubungan dengan otoritas umat manusia dalam
masalah fiqh.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar
belakang di atas maka yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1.
Bagaimana problem otoritas didalam mengartikan fiqh?
2.
Bagaimana problem otoritas dalam membagikan dan
menempatkan bab-bab fiqh oleh imam mazhab?
3.
Bagaimana problem otoritas dalam penggunaan metode
dalam mengkaji hukum fiqh?
C.
Tujuan
Penulisan
Penulisan
makalah ini bertujuan
1.
Untuk
mengetahui problem otoritas didalam mengartikan fiqh.
2.
Untuk
mengetahui problem otoritas dalam membagikan dan menempatkan bab-bab
fiqh oleh imam mazhab.
3.
Untuk
mengetahui problem otoritas dalam penggunaan metode dalam mengkaji hukum fiqh.
D.
Manfaat
Penulisan
Adapun manfaat
yang akan dapat dipetik pada penulisan makalah ini adalah:
1.
Untuk memenuhi kewajiban sebagai akademik dalam
menyelesaikan mata kuliah khazanah pemikiran islam
2.
Untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang seluk
beluk penetapan hukum dan otoritas fiqih dalam kehidupan umat islam.
E.
Sistematika Penulisan
BAB II
PROBLEM OTORITAS DI DALAM FIQH
A.
Otoritas
dalam Mengartikan Fiqh
Fiqh secara
etimologi yaitu pemahaman, sedang terminology, meski ada beberapa versi namun
yang dianggap paling popular dikalangan ulama ushul fiqh adalah pengetahuan
tentang hukum syara’ yang bersifat praktis yang dirumuskan dari dalil-dalil
syara’ yang tafsily.[1]
Dengan demikian fiqh adalah produk fikiran yang baharu yang pastinya
membutuhkan perkembangan dan pengkajian yang terus menerus. Sementara fenomena
yang ada sekarang terkadang fiqh dianggap sebagai jumud atau beku artinya tidak
berkembang. Fiqh menjadi sesuatu yang sacral untuk disentuh pengkajian ulang.
Hal tersebut
lahir dari berbagai pendapat para ahli dalam mengartikan fiqh. Tetapi Imam
muhammad Abu Zahrah sedikit membedakan antara lafadz “al-Fiqh”
dengan “al-Fahm”. Beliau mengatakan bahwa al-Fiqh berarti:
الفهم العميق النافذ الذي يتعرف عليك الأقوال
والأفعال
“Pemahaman yang mendalam lagi tuntas yang dapat
menunjukkan tujuan dari perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan”.[2]
Dari pendapat diatas menunjukkan
bahwa fiqh digarap dari umumnya perkataan dan perbuatan tanpa memandang kepada
tafsily dan ijmaly. Hal ini merupakan otoritas imam Muhammad abu zahrah dalam
mengartikan fiqh. Namun tujuan dari pengertian ini juga tidak bertentangan dan
dapat memecahbelahkan persatuan umat islam.
Menurut Nasroen Haroen
sebagaimana mengutip pendapat al-allamah al-Bannani mengatakan bahwa pengertian
fiqh adalah mengetahui “hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliyah yang
diperoleh melalui dalil-dalilnya yang terperinci”[3].
Menurut al-bannani fiqh itu
digali dari sumber hukum asli yang terperinci atau tafsiliyyah. Berbeda dengan
pendapat Muhammad abu zahrah yang menggali hukum dari sumber hukum yang masih
bersifat ijmalyah. Dari pendapat-pendapat di atas didapatkan bahwa para fuqaha
memiliki otoritas dalam mengartikan fiqh, akan tetapi tidak lari jauh dari rel
yang membawa umatnya kejalan kemaslahatan dan tidak memecah belahkan persatuan
umat.
Semakin banyak pendapat-pendapat
yang lahir dari uumat islam makka akan lebih baik pula rahmat yang akan
diturunkan oleh Allah SWT selama manusia itu memiliki pemikiran yang akan dapat
membawa umat ke jalan kemaslahatan. Dan ini merupakan hak otoritas yang
diberikan Allah SWT kepada hambanya. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWTSurat
An-Nisa ayat 59 yang artinya:
Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan Rasul (Nya) dan ulil Amri diantara kamu, kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah
(al-Qur’an) dan Rasul (Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih lebih utama dan lebih baik akibatnya.
Kemudian nabi Muhammad SAW
memberikan hak otoritas kepada umatnya dengan pernyataannya yang berarti:
Sesunggunya saya adalah manusia,
apabila saya perintahkan kepadamu sesuatu yang menyangkut agamamu, maka
ambillah. Dan apabila aku perintahkan kepadamu sesuatu yang berasal dari
pendapatku, maka sesungguhnya aku adalah manusia (H.R. Muslim dari Rafi’ ibnu
Khudaij).
Dari
kedua pernyataan diatas Allah swt dan rasul sebagai kekasihnya menyuruh umat
manusia untuk berijtihad. Maka dalam hal ini Allah dan Rasulnya memberikan hak
otoritas kepada umatnya untuk berpikir demi kemaslahatan umat dalam mengemban
tugas sebagai khlifah dipermukaan bumi ini.
B.
Otoritas Imam
Mazhab pada Pembagian Fiqh
Hukum-hukum
fiqih menncakup segala aspek kehidupan manusia. Dan pembahasan mengenai
sistematika fiqih antara satu dengan ulama yang lain berbeda. Maka di sinilah
terjadinya problema otoritas dalam fiqh.
Adapun
sistematika tersebut antara lain:
1. Sistematika
fiqh Hanafi
Fuqaha Hanafi
membagi fiqh ke dalam tiga vagian pokok:
a.
Ibadah, terdiri dari shalat, zakat, puasa, haji dan
jihad.
b.
Muamalah, terdiri dari transaksi materi berimbal,
perkawinan, perselisihan, amanah, dan harta peninggalan.
c.
Uqubah, terdiri dari qishash, hukuman pencurian,
hukuman zina, qazhab, dan murtad.[4]
Pembagian
seperti ini tidak berarti melupakan topic thaharah, karena thaharah merupakan kunci pembuka sekaligus syarat
shalat. Jadi secara implicit, ia sudah termasuk di dalamnya. Fiqh ibadah ini
diposisikan pada tingkat yang tinggi karena itulah tujuan poko manusia
diciptakan.
Muamalat dalam
mazhab Hanafi meliputi nikah dan penempatannya sesudah ibadah, disamping yang
lain, hal ini dikarenakan dalam nikah itu sendiri ada dua sisi ta’abudinya.
Dikatakan muamallat, ialah karena perniikahan itu mempunyai kaitan dengan
harta, yaitu imbalan kehormatan wanita (mahar), ada ijab Kabul, dan kesaksian
dan ditambah lagi karena ia termasuk kebawah naungan system peradilan.
2. Sistematika
fiqh Maliki
Ulama Maliki
membagi topic-topik pembahasan fiqh ke dalam empat bagian pokok:
a.
Ibadah, mencakup satu bagian yang pertama dari fiqh.
b.
Nikah, serta persoalan-persoalan yang berkaitan
dengannya, seperempat bagian kedua.
c.
Jual beli, serta persoalan-persoalan yang berkaitan
dengannya, seperempat bagian ketiga.
d.
Peradilan serta persoalan-persoalan yang berkaitan
dengannya, seperempat bagian keempat.
Dalam mazhab
Maliki, ada beberapa tambahan selain yang disebutkan dalam mazhab hanafi yaitu
thaharah, kurban, barang yang boleh dimakan dan diminum dalam keadaan bebas,
sumpah dan perlombaan. Perlombaan ini dimasukkan kedalam ibadah dengan melihat
kepada hubungannya dengan bab jihad. Selain itu ada ayat yang menyatakan berlomba-lomba dalam
kebaikan, dan setiiap kebaikan adalah ibadah.
Pembahasan nikah
menjadi bab tersendiri yang terlepas dari muamalah, yang berbeda dengan mazhab
Hanafi. Perbedaan ini dengan argument bahwa perkawinan itu adalah taqarrub yang dianjurkan. Selanjutnya
bab muamalah dalam mazhab maliki disebut dengan jual beli, meskipun
pembahasannya adalah topic-topik yang terdapat dalam bab muamalah pada mazhab
Hanafi. Adapun argument mengapa jual beli ditempatkan setelah nikah karena jual
beli itu adalah dua transaksi yang ada kaitannya dengan kelanggengan masyarakat
dunia.
Sistematika ini
diakhiri dengan peradilan serta persoalan-persoalan yang berkaitan dengannya
termasuk faraiizh. Hal ini karena bagian-baggian yang terdahulu, seperti nikah
dan muamalah, merupakan bidang interaksi dari anggota-anggota masyarakat, yang
kadangkala mmenimbulkan berbagai pertikaian dan penghapusan bagi pertiakaian,
yaitu mengenai peradilan.
3. Sistematika
fiqh Syafi’i
Ulama Syafi’i
membagi topic-topik pembahasan fiqh ke dalam empat bagian pokok:
a.
Ibadat
b.
Muamalat
c.
Nikah
d.
Jinayat dan al-Mukhsamah.
Topic yang
pertama yang dibahas oleh ulama Syafi’I adalah ibadah. Karena tujuan pertama
dari ilmu fiqh, dimana kebahagian seorang di dunia dan di akhirat tergantung
pada terlaksananya ibadah dengan baik atau tidaknya.
4. Sistematika
fiqh Hanbali
Ulama Hanbali
membagiyafi’i topic-topik pembahasan fiqh ke dalam lima bagian pokok:
a.
Ibadah
b.
Muamalah
c.
Munaqahat
d.
Jinayat
e.
Qadha dan Khusumah
Ulama Maliki
menempatkan bab ibadah pada urutan pertama, sama dengan mazhab sebelumnya.
Pentingnya masalah ini karena sesuai dengan tujuan pertama dan terakhir
penciptaan makhluk. Dan mendahulukan bab muamalah atas bab nikah karena ulama
Maliki memandang sebagai hal terpenting yang diperlukan manusia setelah ibadah.
Dari
berbagai penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa masing-masing mazhab
memiliki otoritas tersendiri dalam menempatkan bab-bab fiqih menurut pemikiran
mereka. Jadi, perbedaan pendapat bukanlah suatu criminal bagi mereka, akan
tetapi menjadi suatu karunia dan hikmah pada setiap individu bagi ahli pikir.
Maka perbedaan pendapat pada peletakan bab-bab fiqh pada imam mazhab merupakan
rahmat bagi manusia yang berpikir demi kemaslahatan.
C.
Historisitas
hukum Islam
Sedikitnya ada empat macam produk
pemikiran hukum Islam yang kita
kenal dalam perjalanan sejarah Islam, yaitu: kitab-kitab fiqh,
fatwa-fatwa ulama, keputusan-keputusan pengadilan agama, dan peraturan
perundangan di negeri-negeri Muslim. Masing-masing produk
pemikiran hukum itu
mempunyai ciri khasnya tersendiri, karena itu memerlukan perhatian
tersendiri pula.
Fatwa-fatwa
ulama atau mufti, sifatnya adalah kasuistik karena merupakan respon
atau jawaban terhadap
pertanyaan yang diajukan peminta
fatwa. Fatwa tidak mempunyai daya ikat, dalam arti si
peminta fatwa tidak harus
mengikuti isi/hukum fatwa yang
diberikan kepadanya, tapi
fatwa biasanya cenderung bersifat dinamis karena merupakan
respon terhadap perkembangan baru yang sedang dihadapi masyarakat si
peminta fatwa. Isi fatwa itu sendiri belum tentu dinamis,
tapi sifat responsifnya itu yang sekurang-kurangaya dapat dikatakan dinamis.
Jenis produk
pemikiran Islam yang
kedua, adalah keputusan-keputusan pengadilan
agama. Berbeda dengan fatwa, keputusan-keputusan
pengadilan agama ini
sifatnya mengikat kepada pihak-pihak
yang berperkara, dan
sampai tingkat tertentu juga
bersifat dinamis karena merupakan usaha member
jawaban atau menyelesaikan masalah yang diajukan ke pengadilan pada suatu titik
waktu tertentu.
Jenis produk
pemikiran hukum ketiga,
yaitu peraturan perundangan di negeri Muslim. Ini juga bersifat mengikat
atau mempunyai daya ikat yang lebih luas. Orang yang terlibat dalam perumusannya juga tidak terbatas pada para fuqaha atau
ulama, tapi juga para politisi dan cendekiawan lainnya.
Jenis
produk pemikiran hukum keempat, ialah
kitab-kitab fiqh yang pada
saat di tulis pengarangnya,
kitab-kitab itu tidak dimaksudkan untuk diberlakukan secara umum di
suatu negeri, meskipun dalam
sejarah kita mengetahui, beberapa buku fiqh tertentu telah
diperlakukan sebagai kitab
undang-undang. Kitab-kitab fiqh
ketika ditulis juga tidak dimaksudkan, untuk digunakan pada masa atau periode
tertentu. Dengan tidak adanya masa laku
ini, maka kitab-kitab fiqh cenderung dianggap harus berlaku untuk semua
masa, yang oleh
sebagian orang lalu dianggap
sebagai jumud atau
beku alias tidak berkembang.
Selain
itu kitab-kitab fiqh juga mempunyai karakteristik lain. Kalau fatwa dan keputusan pengadilan agama sifatnya
kasuistik yaitu membahas masalah tertentu.
maka kitab-kitab fiqh sifatnya
menyeluruh dan meliputi
semua aspek bahasan hukum Islam. Sebagai salah satu akibat dari sifatnya
yang menyeluruh ini, maka perbaikan
atau revisi terhadap sebagian isi kitab fiqh dianggap
dapat, atau akan
mengganggu keutuhan isi keseluruhannya. Karena itu kitab-kitab fiqh cenderung menjadi
resisten terhadap perubahan.
Inilah
kedudukan kitab fiqh sebagai salah satu
bentuk produk pemikiran hukum
Islam dan karakteristik serta kecenderungan-kecenderungannya
dibanding dengan produk-produk pemikiran hukum
lainnya: fatwa, keputusan
pengadilan agama, dan peraturan perundangan
negeri Muslim. Dengan
cara meletakkan fiqh pada
proporsinya yang demikian
itu maka diharapkan kita
akan memperlakukannya secara
proporsional pula, seperti
pertama, fiqh hanyalah salah satu dari beberapa bentuk produk pemikiran hukum
Islam. Kedua, karena
sifatnya sebagai produk pemikiran,
maka fiqh sebenarnya tidak boleh resisten
terhadap pemikiran baru yang muncul
kemudian.
Dan
ketiga, membiarkan fiqh
sebagai kumpulan aturan yang
tidak mempunyai batasan masa
lakunya, adalah sama
dengan menghalalkan produk pemikiran
manusia yang semestinya temporal. Akibat lebih lanjut dari
kedudukan fiqh yang
diidentikkan dengan agama itu, maka orang yang menguasai fiqh yang
biasanya disebut fugaha, juga mempunyai kedudukan tinggi,
bukan saja sebagai orang
yang memaklumi produk pemikiran keagamaan tapi sebagai penjaga hukum
agama itu sendiri.
Secara sosiologis kedudukan demikian
itu memberi hak-hak istimewa dan
peranan tertentu kepada fuqaha pada lapisan sosial tertentu, yang pada gilirannya akan
mempengarahi cara pandang
dan cara piker fuqaha itu
sendiri. Ketika seorang
faqih dari suatu
masa menuliskan tintanya menjadi
kitab fiqh, maka sebenarnya itu tidak terlepas dari
cara pandang dan
cara pikirnya yang sebagian
atau seluruhuya diwarnai
oleh kedudukan sosialnya tadi.
Salahkah
kitab-kitab fiqh, fatwa-fatwa ulama, keputusan-keputusan pengadilan agama,
dan peraturan perundangan di negeri-negeri
Muslim menjadi aturan hidup umat manusia. Menurut hemat penulis hal tersebut
bukan sebuah criminal selama hal tersebut tidak merugikan kepentingan umat. Dan
apabila hal tersebut sudah bertolak belakang dengan ajaran islam (merugikan)
maka hal tersebut harus mendapat perhatian umat. Maka inilah otoritas yang
diberikan oleh Allah dan rasul kepada umat manusia untuk menentukan
kemaslahatannya. Dalam hal ini ijma’ merupakan solusi yang dapat ditempuh dalam
memiliki hak otoritas dalam permasalahan fiqh.
D.
Metode
Pengkajian Fiqh
Terdapat sejumlah
pasangan pilihan yang dapat mempengaruhi pandangan seseorang
tentang fiqh, empat
diantaranya akan disebutkan dan
diuraikan di sini. Keempat pasangan pilihan tersebut ialah
sebagai berikut:
1. Pilihan
Wahyu dan Akal
Dalam sejarah
pertumbuhan hukum Islam
kita mengetahui, terdapat dua
aliran besar di kalangan para
pendiri madzhab, dalam hal porsi penggunaan akal, dalam mencoba
memahami dan menjabarkan ajaran
Islam tentang hukum.
Kelompok pertama adalah mereka
yang mengutamakan penggunaan
hadits dalam memahami ayat-ayat
Qur'an dan kelompok kedua, adalah
mereka yang mengutamakan penggunaan akal. Kelompok pertama
kemudian dikenal dengan ahl
al-hadith dan kelompok kedua disebut ahli al-ra'yi. Kelompok pertama
terutama berkembang di Madinah, dan dipelopori
Imam Malik bin Anas dan kelompok
kedua berkembang di Kufah dan Baghdad, dipelopori Imam Abu Hanifah.
Kedua aliran ini telah
menghasilkan kitab-kitab fiqh
yang berbeda. Kitab-kitab fiqh hasil kelompok pertama lebih member tempat
kepada hadits-hadits meskipun lemah, sedangkan kelompok kedua menghasilkan
kitab-kitab fiqh yang bersifat
rasional. Imam Syafi'i sebenarnya telah
berusaha menjembatani kedua kelompok itu,
tapi tidak sepenuhnya berhasil,
karena beliau sendiri pada akhirnya lebih memihak pada kelompok pertama.
Jadi sejak awal pertumbuhannya telah
ada pihak-pihak yang berpendirian, aturan yang disebut hukum Islam itu tidak
boleh terkena intervensi akal manusia karena hukum Islam itu adalah kebenarannya mutlak
yang hanya diatur dengan wahyu. Meskipun pandangan ini bersifat utopis
karena kenyataan, jumlah
ayat al-Qur'an mengenai hukum
itu hanya sedikit sekali (kurang lebih 276-500 ayat),
dan karenanya tidak meliput semua aspek kehidupan manusia,
apalagi aspek-aspek kehidupan
yang merupakan produk perkembangan zaman modern, tapi pandangan ini telah mempunyai
pengaruh dalam memberikan label bahwa produk pemikiran fiqh itupun merupakan
upaya menafsirkan kehendak Tuhan yang
bersifat abadi dalam
bidang hukum. Inilah yang menyebabkan lahirnya pandangan
yang telah membiarkan
fiqh sebagai kumpulan aturan yang tidak mempunyai batasan masa lalu dan cenderung
mengekalkan produk pemikiran
manusia yang semestinya temporal
dan liable terhadap perubahan. Kesalahan dalam melakukan pilihan
antara wahyu dan
akal, atau lebih tepatnya kesalahan
dalam memberikan porsi peranan
wahyu dan akal ternyata telah membawa pada kejumudan fiqh
itu sendiri yang justru meliputi
sebagian terbesar dari aturan hukum Islam yang ada. Satu kitab fiqh dapat
ditulis dalam berpuluh-puluh jilid, sementara wahyu yang mendasarinya hanya
beberapa ratus ayat saja. Tentu saja selebihnya adalah produk penafsiran dan pemikiran
manusia. Tapi karena hukum Islam
dipandang identik dengan fiqh, maka kitab fiqh yang berpuluh-puluh jilid itupun menjadi tabu
mendapatkan revisi. Jadi,
kesalahan dalam melakukan pilihan
yang tepat antara porsi peranan wahyu
dan akal telah mempunyai
dampak yang serius
dalam sejarah perkembangan --atau
lebih tepatnya ketidak-berkembangan fiqh.
2. Pilihan
Kesatuan dan Keragaman
Pasangan pilihan kedua adalah,
antara hukum Islam
sebagai kesatuan dan hukum
Islam sebagai keragaman.
Hukum Islam sebagai kesatuan
artinya, karena hukum Islam itu adalah hukum
Tuhan maka semestinya
hukum Islam itu hanya ada satu
macam saja untuk seluruh umat manusia, untuk seluruh umat Islam
di dunia. Tapi pada kenyataan kita melihat, fiqh yang
dipandang identik dengan hukum Islam itu bermacam-macam. Kita mengetahui
terdapat berbagai madzhab
dalam fiqh. Sekarang kita melihat madzhab-madzhab itu sebagai
aliran-aliran dalam hukum Islam, tapi
dulunya lebih merupakan
ekspresi lokal. Demikianlah perkembangan hukum Islam. Orang
harus melakukan pilihan antara pandangan
yang mengatakan hukum Islam itu universal, dengan pandangan
yang mengatakan hukum Islam itu
partikular.
Kita mengetahui dalam
sejarah, bahwa pandangan
pertama telah mendominasi benak
kaum Muslim selama berabad-abad, dan sebagai hasilnya fiqh selalu resisten
terhadap perubahan. Bagi kita kaum
Muslim Indonesia, lebih ironis lagi. Hukum Islam yang dianggap
universal itu sebenarnya
adalah produk fuqaha dari
suatu lingkungan kultur tertentu, dan dari suatu masa tertentu di
masa silam. Kitab-kitab
fiqh yang kita pelajari sekarang di Indonesia ini, dan
sebagian diterjemahkan atau disadur dalam bahasa Indonesia, adalah kitab-kitab
fiqh yang ditulis lima
atau enam abad yang lalu, dan merupakan ekspresi dari
kultur tertentu di sekitar Timur
Tengah. Jadi, selain sudah
tua, kitab-kitab fiqh
yang kita pelajari itu mengandung
ekspresi lokal di
Timur Tengah sana.
Artinya kitab-kitab fiqh itu
partikularistik. Tapi justru kitab-kitab yang dipandang sebagai hukum Islam itu
di Indonesia dipandang universal tadi.
Begitulah, mengidentikkan fiqh
dengan hukum Islam yang universal,
telah mengakibatkan mandeknya perkembangan fiqh, seperti yang
kita saksikan selama ini.
3. Pilihan
Idealisme dan Realisme
Pasangan pilihan
ketiga yang telah mempengaruhi perkembangan fiqh adalah pilihan antara
idealisme dan realisme,
antara cita-cita dan
kenyataan. Kita mengetahui dari sejarah, bahwa kitab-kitab fiqh itu pada
umumnya ditulis para fuqaha, jurist, atau
para ahli hukum, dan bukan oleh para hakim di pengadilan agama. Bahkan
kita mengetahui banyak fuqaha menolak
jabatan qadi atau hakim,
meskipun untuk itu
mereka harus masuk penjara. Ini berarti --sejarah
telah membuktikannya-- fiqh pada
umumnya dirumuskan para teoritisi belakang meja daripada praktisi di
lapangan. Sebagai akibatnya,
fiqh yang dihasilkannya lebih
mengekspresikan hal-hal yang ideal daripada real, lebih menekankan segala
sesuatunya pada hal-hal yang maksimal daripada minimal.
Akibat lain dari pilihan atas
idealisme daripada realisme itu, ialah:
fiqh semakin hari
semakin jauh dari
kenyataan masyarakat. Ini telah
terjadi pada saat
kitab fiqh itu dituliskan, apalagi ketika kitab-kitab
fiqh itu menjadi remote dari masyarakat
yang mengamalkannya, baik remote waktu maupun tempat
4. Pilihan Stabilitas dan Perubahan
Pasangan pilihan
keempat adalah pilihan
stabilitas dan perubahan. Pasangan
pilihan ini sebenarnya tidak
sepenuhnya berdiri sendiri, melainkan akibat lanjutan dari pilihan
pada pasangan-pasangan
sebelumnya. Karena hukum Islam
harus hanya ada satu, maka secara konseptual hukum Islam
tidak menerima adanya variasi.
Dari dimensi waktu, ini berarti
hukum Islam itu harus stabil, statis, dan tidak boleh mengalami perubahan. Sebagai akibatnya kitab-kitab fiqh menjadi beku, dan
resisten terhadap perubahan.
Kebekuan fiqh itu,
sebagaimana disebutkan di
muka, telah berlangsung selama
berabad-abad. Baru pada
abad ke-19 terdengar suara-suara
untuk melakukan perubahan terhadap fiqh yang ada. Beberapa negeri Muslim setelah pertemuan
yang pahit dengan peradaban Barat,
mulai mencoba melakukan
revisi terhadap fiqhnya, dengan
mengintrodusir dan memperbaharui peraturan perundangan,
khususnya dalam hal hukum keluarga. Hal ini
terjadi di Tunisia, Mesir, Siria,
dan Irak. Bahkan Saudi Arabia pun dalam banyak hal telah
mulai melakukan suplemen terhadap hukum-hukum
fiqh Hambali yang
umumnya terlalu literalis.
Uraian di atas dapat disimpulkan:
Kemandekan pemikiran fiqh di dunia
Islam selama ini
adalah karena kekeliruan menetapkan pilihan dari pasangan-pasangan
pilihan tersebut di atas, atau sekurang-kurangnya kekeliruan dalam
menentukan bobot masing-masing pilihan
itu. Fiqh telah
dipandang sebagai ekspresi kesatuan hukum Islam yang universal daripada
sebagai ekspresi keragaman partikular. Fiqh telah mewakili hukum dalam bentuk cita-cita
daripada sebagai respon
atau refleksi kenyataan yang ada
secara realis. Fiqh
juga telah memilih stabilitas daripada perubahan. Semua itu, telah
mengakibatkan kemandekan pemikiran fiqh di dunia Islam selama ini.
Jika kita
hendak mereaktualisasikan ajaran-ajaran Islam, khususnya dalam
bidang hukum, dan
lebih khusus lagi dalam bidang fiqh, maka kita harus membalik
pilihan-pilihan tersebut di atas. Kita harus memandang fiqh sebagai produk
dominan akal ketimbang wahyu, dan karenanya boleh diotak-atik, dirubah atau bahkan dibuang pada setiap saat. Fiqh harus
dipandang sebagai varian suatu
keragaman yang bersifat
partikularistik yang terkait dengan tempat dan waktu. Fiqh harus
dikembangkan dari yurisprudensi pengadilan yang bertumpu pada realisme.
Pendek kata, fiqh harus
dilihat sebagai mata rantai perubahan yang tak henti-hentinya tanpa
harus dipersoalkan keabsahannya karena toh pada akhirnya fiqh
itu hanya menyangkut soal cabang dari agama. Tapi untuk melakukan pilihan-pilihan yang
tepat diperlukan sedikitnya tiga syarat yang harus dipenuhi yaitu:
1. Adanya
tingkat pendidikan dan tingkat keterbukaan yang tinggi dari
masyarakat Muslim.
2. Adanya
keberanian di kalangan
umat Islam untuk
mengambil pilihan-pilihan yang tidak konvensional dari pasangan-pasangan
pilihan tersebut di atas.
3. Memahami faktor-faktor sosiokultural dan politik yang
melatarbelakangi lahirnya suatu produk
pemikiran fiqhiyah tertentu,
agar dapat memahami partikularisme dari
produk pemikiran hukum
itu.
Dengan demikian, jika di tempat
lain atau pada waktu lain ditemukan unsur-unsur partikularisme yang
berbeda, maka produk pemikiran hukum itu dengan sendirinya harus
dirubah. Dengan demikian dinamika hukum Islam dapat terus
dijaga dan dikembangkan. Maka otoritas dalam bidang fiqh dapat dilakukan oleh
orang yang memiliki ilmu atau para ahlinya dalam memproduksikan fiqh.
E.
Problem Otoritas
di dalam Fiqh
Otoritas berarti
pendelegasian hak-hak untuk mengatur atau memimpin. Ini berarti kuasa untuk
bertindak, memutuskan, memerintahkan, dan menilai; hak untuk menentukan
kebijakan dan tanggung jawab untuk menentukan kendali dalam hidup dalam batas
otoritas yang diberi Allah. Tuhan mempunyai kemutlakan otoritas dan hak
Pencipta yang berdaulat.
Salah satu
kesibukan para intelektual Muslim di seluruh
dunia saat ini ialah memikirkan
bagaimana menerjemahkan nilai-nilai Islam ke
dalam perangkat nyata
kehidupan modern. Seorang Muslim yang serius tentu menyadari, betapa ia
dihadapkan pada tantangan hidup dalam suatu
masyarakat modern, yaitu
suatu masyarakat yang notabene
merupakan kelanjutan logis, meskipun melalui proses transmutasi yang
amat besar, dari
berbagai unsur tatanan dan
nilai hidup yang telah pernah
berkembang sebelumnya, khusus di dunia Islam.
Ilmu pengetahuan modern, misalnya, dengan
mudah dapat ditelusuri asal-usulnya sebagai kelanjutan dunia keilmuan
Islam yang pernah berkembang dalam masanya
jayanya yang "liberal," ketika kaum Muslim
terlatih menghargai suatu temuan pikiran dan keilmuan baru, dan ketika wawasan mereka terbentuk karena semangat
kosmopolitanisme dan universalisme
sejati. Namun pada
saat yang sama,
karena tuntutan imannya, seorang Muslim "modern" harus tetap
berada dalam pangkuan agamanya dan dijiwai nilai-nilai asasinya.
Zaman modern,
atau yang menurut Marshall Hodgson
lebih tepat Dinamakan "Zaman Teknik" (Technical Age)
adalah jelas berbeda secara mendasar dari zaman agraris sebelumnya. Padahal
agama Islam, sebagaimana halnya
dengan agama-agama besar
lain, dilahirkan dalam zaman agraris. Seperti baru saja
disebutkan di atas, ini tidaklah berarti zaman modern terputus sama sekali
dari zaman sebelumnya Justru unsur kontinuitasnya dengan masa lalu
sedemikian rupa tidak
mungkin diingkari, karena dasar-dasar zaman modern ini pun
diletakkan masa sebelumnya, yaitu di
zaman agraris. Suatu teori
kesejarahan dunia malah menyebutkan,
zaman agraris sebenarnya
telah mengalami perkembangan
menuju ke arah kompleksitas yang tinggi pada masa Axial Age ("Masa
Aksial" atau "Sumbu"), yaitu
masa yang terbentang selama
enam abad sejak abad kedelapan sampai abad kedua sebelum Nabi 'Isa
al-Masih as.
Pada
saat itu terjadi perubahan asasi
di mana-mana, akibat
lepasnya monopolipengetahuan
tulis baca dari tangan
kelas pendeta, menjadi tersebar di
antara berbagai kelompok borjuis,
dan karenanya watak serta kecepatan perkembangan tradisi tulis-baca itu juga berubah. Pada
waktu yang sama, keseluruhan tatanan geografis bagi kegiatan bermakna
kesejarahan manusia juga
mengalami transformasi,
sebab saat itu mulai menyebar,
meliputi hamper seluruh belahan bumi.
Pada masa
itu dengan nyata
budaya manusia mulai berkembang keluar dari inti kawasan Nil-Amudarya (Mesir-Transoxiana) yang
menjadi inti kawasan
bumi yang berpenghuni dan
berperadaban (Arab: al-Da'irat
al-Ma'murah; Yunani: Oikoumene, "Daerah Berpenduduk").
Zaman Islam
adalah zaman "Pasca-Sumbu" (Post-Axial), dan masa kejayaan
Islam merupakan puncak perkembangan "Zaman Agraria Berkota"
(Agrariante Citied Society), yaitu masyarakat agraris dengan ciri
kehidupan perkotaan (urbanity)
yang menonjol. Adalah dalam urbanity
itu suatu pola
kehidupan sosial-ekonomi yang
ditandai tingginya kegiatan ekonomi urban dan penghargaan kepadanya, khususnya
perdagangan, dan etos intelektual terletak benang merah kontinuitas antara zaman modern
dengan zaman Islam. Tapi sekali pun zaman
Islam masih sepenuhnya berada
dalam rangkaian zaman agraris
(jadi masih mempunyai kesinambungan dengan
zaman sebelumnya), perubahan yang dibawanya
sedemikian radikal dan eksplosif, sebanding dengan radikal
dan eksklusif pembebasan
(futuhat) yang dilakukan kaum
Muslim, pertama-tama atas kawasan Nil-Amudarya, kemudian segera meliputi daerah
yang lebih luas, yang kurang lebih waktu itu merupakan daerah
paling maju di muka bumi.
Dengan flashback di atas, kiranya menjadi jelas,
sesungguhnya peralihan dari masa lalu
yang agraris-urban itu,
ke zaman modern sekarang,
ini tidaklah terlalu unik dalam pandangan sejarah umat
manusia. Dan disebabkan faktor peranan sejarahnya sendiri sebagai
puncak zaman agraris
urban, maka Islam memiliki potensi menjadi pewaris
yang paling beruntung
dari zaman modern ini,
dan pelanjut serta pengembangnya
di masa depan, karena unsur-unsur asasi zaman modern itu tidak
asing bagi pandangan hidup
kaum Muslim. Jika kita ambil peristiwa Inkuisisi Kristen dalam
menghadapi ilmu pengetahuan, praktis tidak
ada hal serupa dalam Islam.
Sejarah membuktikan betapa problematiknya
hubungan dogma Kristen
dengan unsur pokok modernitas, yaitu
ilmu pengetahuan, dan betapa
dalam Islam, situasi problematik itu dapat dikata tidak ada
sama sekali, bahkan sebaliknya
sikap positif terhadap
ilmu pengatahuan adalah sui generis atau tiada taranya dalam pandangan
hubungan organiknya yang sejati dengan sistem keimanan.
Tapi sudah
tentu faktor kontinuitas
prinsipil bukanlah satu-satunya perkara
yang membentuk dan
menentukan sikap seseorang atau
komunitas dalam menghadapi perubahan zaman. Berbagai pengalaman
historis yang lebih
spesifik pada bangsa-bangsa Muslim
dalam interaksinya dengan bangsa-bangsa Barat, khususnya pengalaman permusuhan
(antara lain karena titik
singgung keagamaan Islam-Kristen
dan ketetanggaan geografis Timur
Tengah-Eropa) justru nampak
menjadi sumber problematik
bangsa-bangsa Muslim menghadapi perubahan ke zaman modern, karena adanya
asosiasi (yang tidak seluruhnya benar) antara modernisme dan westernisme.
Apalagi bangsa-bangsa Barat itu, ketika melakukan penjajahan atas
bangsa-bangsa Muslim, jelas-jelas
membawa
kenangan pengalaman historis masa lampau yang penuh permusuhan (antara
lain dilambangkan dan dibuktikan dalam:
bagaimana para penjajah Spanyol
menamakan kaum Muslim Mindanao
sebagai "orang-orang Moro,"
sebagai kelanjutan semangat permusuhan antara orang Spanyol Kristen
dengan orang Spanyol Muslim yang
mereka sebut "orang
Moro"). Adalahbeberapa pengalaman
historis permusuhan ini,
dan bukannyafaktor
kontinuitas kultural di
atas, yang menyebabkankebanyakan kaum
Muslim mengalami kesulitan dalam
menghadapizaman modern. Maka,
misalnya, Turki yang
Muslim sampai sekarang masih
menunjukkan ciri dunia
ketiga yang non-industrial, sementara
Jepang yang Buddhis
justru memperlihatkan
tanda-tanda Barat dalam
beberapa segi industrialnya. Kesulitan
kaum Muslim ini
di antaranya tercermin dalam
bagaimana menangani masalah reinterpretasi hukum Islam untuk
zaman modern.
Dapat disimpulkan bahwa problem otoritas dalam
masyarakat muslim bukanlah hal yang dapat menghambat produktivitas fiqh. Akan
tetappi otoritas dalam fiqh dapat berfungsi untuk menciptakan produk fiqh yang sesuai dengan akal dan tidak
bertentangan dengan al-qur’an dan hadits. Maka dalam hal ini otoritas dalam
fiqh dipandang sebagai hal yang wajar untuk tidak menganggap bahwa ajaran islam
sebagai sebuah doktrin.
[1]
A.Hamid Sarong, Fiqh, (Banda Aceh: Pusat Studi Wanita IAIN Ar-Raniry, 2009),
hal. 11.
[2] Ibid., hal. 12
[3] Nasroen
Harun, Ushul Fiqh, hal 3 dikutip dari Al-allamah al-Bannani, Hasyiyah
al-Bannani a’la syarh al-mahally a’la matani jami’ al-jawami’, Beirut: Darl
Fikr, jilid I, 1402 H/1992, hal. 25.
[4] Abdul
Wahhab Ibrahim Abu Suulaiman, Sistematika
Penulisan Fiqh dan Korelasinya Menurut Mazhab Empat, alih bahasa Said aqil
Al-Munawwar, (Semarang: Dina Utama, 1998), hal. 12